Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jilid 7 Bagian 2

Senin, 20 Februari 2017 - 17:55 WIB
loading...
Kho Ping Hoo : Bukek...
Bukek Sianshu, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu

Swat Hong tertawa. Timbul kembali kegembiraan dara ini setelah dia tidak berada di Pulau Es yang membuat dia selama ini ikut muram dan berduka "Wah, Suheng! Kadang-kadang kau bicara seperti seorang pendeta saja! Apa sih yang akan dibicarakan sampai-sampai kau membutuhkan ilham segala?"

"Mari kita bicara tentang cinta, Sumoi."

Wajah dara muda jelita itu terheran, matanya memandang terbelalak dan perlahan-lahan kedua pipinya menjadi agak kemerahan. "Aihh.... apa maksudmu, Suheng?"

Sin Liong menarik napas panjang, dan menyentuh tangan sumoinya. "Perlukah aku menjelaskan lagi? Suhu, Ayahmu sedang dilanda duka dan kedukaannya yang terakhir sekali ini adalah menyangkut hubungan antara kita. Suhu menghendaki agar kita berjodoh, dan kita secara jujur telah menyatakan tidak setuju akan kehendaknya itu. Dan memang kita benar, Sumoi. Perjodohan tidak bisa ditentukan begitu saja, karena perjodohan merupakan hal gawat bagi seseorang, akan melekat selama hidupnya. Akan tetapi, bagaimana kita tahu kalau hal ini tidak kita bicarakan secara terus terang? Maka, agar kita dapat mengambil keputusan yang tepat tentang kehendak Suhu ini, marilah kita bicara tentang cinta!"

"Hemm, bicaralah. Aku tidak tahu apa-apa," Kata Swat Hong yang tentu saja merasa malu untuk bicara tentang hal yang asing baginya itu.

"Swat Hong, apakah kau cinta kepadaku?"

Dara itu makin merah mukanya. Tak disangkanya bahwa suhengnya akan bertanya secara langsung seperti itu sehingga dia merasa seperti diserang dengan tusukan pedang yang amat dahsyat! Dia mengangkat muka memandang suhengnya dengan bingung.

"Aku... aku,.. ah, aku tidak tahu..,." Dan dia menundukkan mukanya.

"Sumoi, sudah sering aku melihat sikapmu yang aneh. Engkau marah-marah ketika kita berada di Pulau Neraka. Engkau cemburu melihat Soan Cu berbuat baik kepadaku, dan kau tidak senang melihat Kong-kongnya hendak menjodohkan Soan Cu dengan aku. Sumoi, aku tidak tahu apakah cemburu itu tandanya cinta? Akan tetapi, jawablah. demi pemecahan persoalan yang kita hadapi ini. Cintakah kau kepadaku?"

Disinggung-singgung tentang sikapnya di Pulau Neraka yang jelas menandakan rasa cemburunya, Swat Hong menjadi makin malu. Dicobanya untuk menjawab, akan tetapi begitu dia bertemu pandang dengan suhengnya, dia menjadi makin malu dan ditutupinya mukanya dengan kedua tangan, kepalanya digeleng-gelengkan dan dia berkata, "Aku tidak tahu... aku tidak tahu... kau saja yang bicara, Suheng. Kau saja yang menjawab apakah kau cinta padaku atau tidak!" Dan kini dia menurunkan kedua tangannya, sepasang matanya yang bening itu kini dengan penuh selidik menatap wajah Sin Liong!

Sin Liong menarik napas panjang. "Itulah yang membingungkan hatiku selama ini, Sumoi. Mau bilang tidak mencintamu, buktinya aku suka kepadamu. Akan tetapi untuk menyatakan bahwa aku cinta padamu, sulit pula karena aku sendiri tidak tahu bagaimana sesungguhnya cinta itu. Apakah seperti cintanya Suhu terhadap Ibumu yang berakhir dengan peristiwa menyedihkan itu? Ataukah seperti cintanya Ibumu kepada Suhu? Ataukah seperti cintanya The Kwat Lin dan Suhu? Hemm, mengapa semua cinta itu demikian palsu dan mengakibatkan hal yang amat menyedihkan? Aku menjadi ngeri melihat cinta macam itu, Sumoi."

Swat Hong memandang heran. "Ahhh, aku tidak pernah memikirkan cinta seperti yang kau kemukakan ini, Suheng."

"Mudah saja. Lihat saja apa yang terjadi antara Suhu, Ibumu, dan The Kwat Lin. Seperti itukah cinta? Hanya mendatangkan cemburu, kemarahan, kebencian, dan permusuhan hebat. Apakah itu cinta? Kalau seperti itu, aku ngeri dan aku tidak berani berlancang mulut menyatakan cinta kepada siapapun juga, Sumoi. Karena, kalau hanya seperti itu akibatnya, maka cinta yang kunyatakan hanyalah merupakan kembang bibir belaka, hanya cinta palsu belaka. Bayangkan saja, Sumoi. Di antara kita berdua, sejak kecil sampai sekarang menjelang dewasa, tidak pernah ada pertentangan dan tidak pernah ada urusan apa-apa. Akan tetapi, setelah kita berdua mengaku cinta, lalu timbul soal-soal cemburu, kecewa dan lain-Lain. Apalagi setelah menjadi suami istri... hemm, betapa mengerikan kalau melihat contoh yang kita saksikan di Pulau Es ini,"

Swat Hong menunduk dan tak mampu menjawab. Persoalan yang diajukan oleh Sin Liong itu terlampau berat baginya, sulit untuk dimengerti. Baginya, sebagai seorang wanita, dia haus akan cinta kasih, akan perhatian, akan pemanjaan dari seorang pria yang menyenangkan hatinya, seperti suhengnya ini. Akan tetapi, setelah mendengar uraian Sin Liong tentang cinta yang diambilnya peristiwa di Pulau Es sebagai contoh, dia pun ngeri dan tidak berani menyatakan perasaannya itu.

"Aku tidak tahu, Suheng..., aku tidak mengerti. Terserah kepadamu sajalah...."

Sin Liong kembali menarik napas panjang. Dia memang sudah mengambil keputusan di dalam hatinya bahwa dia harus membalas budi kebaikan suhunya yang sudah berlimpah-limpah diberikan kepadanya. Satu-satunya jalan untuk membalas budi hanya dengan menyenangkan hati suhunya yang sedang berduka itu. Dia harus menerima keputusan suhunya, yaitu menerima menjadi jodoh Swat Hong! Akan tetapi dia tidak boleh membuat dara itu menderita dengan keputusannya ini, maka dia harus tahu lebih dulu bagaimana pendirian Swat Hong. Dan sekarang, dara itu sama sekali tidak berani mengaku tentang cinta.

"Sumoi, sekarang begini saja. Andaikata aku memenuhi permintaan Suhu, yaitu mau menerima ikatan jodoh denganmu, menjadi calon suamimu, bagaimana dengan pendapatmu?"

Swat Hong menunduk dan menggigit bibirnya. Akhirnya dia dapat berbisik. "Aku tidak tahu, terserah kepadamu dan kepada Ayah...."

"Maksudku, apakah engkau merasa terpaksa? Apakah hal itu menyenangkan hatimu? Sumoi, harap kau suka berterus terang. Kalau kau, seperti aku, tidak bisa mengaku cinta begitu saja, setidaknya kaukatakan apakah ikatan jodoh ini tidak menimbulkan penyesalan bagimu?

Swat Hong tidak menjawab, hanya menggeleng kepala.

"Kalau begitu, andaikata aku menerima, engkau pun akan menerimanya dengan senang hati?"

Swat Hong mengangguk!

"Kalau begitu, marilah kita pergi menghadap Ayahmu. Aku akan menerima permintaannya, karena betapapun juga, kita harus menghiburnya, menyenangkan hatinya. Aku telah berhutang banyak budi dari Suhu, maka kalau dengan penerimaan ini aku dapat sekedar membalas budinya, aku akan merasa senang."

Sin Liong mengambil dayung perahu itu dan menggerakkan dayung.

"Suheng, kau menerima karena kasihan kepada Ayah? Jadi kau... kau tidak cinta kepadaku?"

"Sumoi aku tidak berani berlancang mulut mengaku cinta. Aku telah banyak menyaksikan cinta kasih yang kuragukan kemurniannya. Aku khawatir bahwa sekali cinta diucapkan dengan mulut, maka itu bukanlah cinta lagi. Aku tidak tahu, apakah cinta itu sesungguhnya, maka aku tidak berani lancang mengaku, Sumoi...."

"Ahhh...!!" Jeritan Swat Hong ini adalah campuran dari rasa kecewa dan juga kekagetan hebat, matanya terbelalak memandang ke depan. Melihat wajah Sumoinya, Sin Liong cepat menengok dan pada saat itu terdengar ledakan dahsyat. dibarengi dengan cahaya kilat yang seolah-olah membakar dunia.

Tampak oleh Sin Liong yang terbelalak memandang itu air muncrat tinggi sekali disusul asap dan api, muncul dari permukaan laut antara perahunya dan Pulau Es. Kedua orang muda yang terbelalak dengan muka pucat itu tidak berkesempatan untuk terheran lebih lama lagi karena tiba-tiba perahu mereka dilontarkan ke atas, dalam saat lain perahu itu telah dipermainkan oleh gelombang yang mendahsyat dan menggunung. Suara gemuruh memenuhi telinga mereka dan keheningan yang baru saja mencekam lautan itu kini terisi dengan kebisingan yang sukar dilukiskan.

Sin Liong berteriak,"Sumoi, bantu aku! jangan sampai perahu terguling!"

Keduanya mengerahkan tenaga, menggunakan dayungnya untuk mengatur keseimbangan perahu. Namun, kekuatan gelombang air laut yang amat dahsyat itu mana dapat ditahan oleh tenaga manusia, biarpun kedua orang muda itu adalah tokoh-tokoh Pulau Es sekalipun? Perahu mereka menjadi permainan gelombang, dilontarkan tinggi ke atas, disambut dan diseret ke bawah, seolah-olah tangan malaikat maut atau ekor Naga Laut yang menyeret perahu ke dasar laut, akan tetapi tiba-tiba diayun lagi ke atas, ditarik ke kanan, didorong ke kiri sehingga kedua orang murid Raja Han Ti Ong itu menjadi pening dan setengah pingsan!

Mereka tidak ingat akan waktu lagi, tidak tahu berapa lama mereka diombang-ambingkan air laut, tidak tahu lagi berapa jauh mereka terbawa ombak, dan mereka tidak sempat menggunakan pikiran lagi. Yang ada hanya naluri untuk menyelamatkan diri, menjaga sekuat tenaga agar perahu mereka tidak sampai terguling dan tangan mereka tidak sampai terlepas memegangi pinggiran perahu. Dengan tangan kanan memegang pinggiran perahu, tangan kiri Sin Liong memegang lengan kanan sumoinya. Betapapun juga, dia tidak akan melepaskan sumoinya! Swat Hong yang biasanya tabah dan tidak mengenal takut itu, sekali ini menangis dengan muka pucat dan mata terbelalak. Terlampau hebat keganasan air taut baginya, terlampau mengerikan melihat gelombang setinggi gunung yang seolah-olah setiap saat hendak mencengkeram dan menelannya itu!

Tiba-tiba Swat Hong menjerit. Segulung ombak besar datang dan menelan perahu itu. Mereka gelagapan karena ditelan air, kemudian mereka merasa betapa perahu mereka dilambungkan ke atas.

"Brukkkk...!" Keduanya terpental keluar, akan tetapi masih saling bergandeng tangan. Cepat Sin Liong menyapu mukanya agar kedua matanya dapat memandang. Ternyata perahu mereka telah dilontarkan ke sebuah pulau kecil yang penuh batu karang, sebuah pulau yang menjulang tinggi akan tetapi hanya kecil-kecil sekali, merupakan sebuah batu karang besar yang menonjol tinggi.

"Sumoi, lekas..., kita naik ke sana...!!" Sin Liong tidak mempedulikan tubuhnya yang terasa sakit semua, membantu sumoinya merangkak bangun. Pipi kanan dan lengan kiri Swat Hong berdarah, akan tetapi gadis itu pun agaknya tidak merasakan semua ini, tersaruk-saruk dia dibantu suhengnya merangkak dan menyeret perahu ke atas, kemudian mereka melanjutkan pendakian ke atas puncak batu karang itu dengan susah payah.

Akhirnya mereka tiba di puncak batu karang dan apa yang tampak oleh mereka dari tempat tinggi ini benar-benar menggetarkan jantung. Air di sekeliling mereka. Air yang menggila, bergerak berputaran, gelombang yang dahsyat menggunung, suara yang gemuruh seolah-olah semua iblis dari neraka bangkit. Batu karang besar, atau lebih tepat di sebut pulau kecil dari batu itu tergetar-getar, seolah-olah menggigil ketakutan menghadapi kedahsyatan badai yang mengamuk. Tidak tampak apa-apa pula selain air, air dan kegelapan, kadang-kadang diseling cahaya menyambar dari atas, seperti lidah api seekor naga yang bernyala-nyala.

"Ouhhhh...!" Swat Hong menangis dan cepat dipeluk oleh suhengnya. Tubuh dara itu menggigil, pakaiannya robek-robek.

"Tenanglah... tenanglah, Sumoi...." Sin Liong berbisik dan pemuda ini mengerti bahwa bukan hanya sumoinya yang disuruhnya tenang, melainkan hatinya sendiri juga! Pengalaman ini sungguh dahsyat dan tak mungkin dapat terlupa selama hidupnya. Kebesaran dan kekuasaan alam nampak nyata. membuat dia merasa kecil tak berarti, kosong dan remeh sekali.

Sin Liong dan Swat Hong yang dipeluknya tidak tahu lagi berapa lamanya mereka berada di tempat itu. Siang malam tiada bedanya, yang tampak hanya kegelapan, air, dan kadang-kadang kilatan cahaya halilintar. Yang terdengar hanyalah gemuruh air, angin menderu, dan kadang-kadang ledakan halilintar. Tidak memikirkan dan merasakan apa-apa, yang ada hanya takjub dan ngeri!

Di luar tahunya dua orang itu, mereka telah berada di pulau batu karang selama sehari semalam! Akhirnya badai mereda, badai yang ditimbulkan oleh ledakan gunung berapi di bawah laut! Kegelapan mulai menipis, akhirnya tampak kabut putih bergerak perlahan meninggalkan tempat itu, air mulai tenang dan menurun, akhirnya tampaklah sinar matahari disusul oleh bola api itu sendiri setelah kabut terusir pergi. Tampaklah lautan luas terbentang di bawah dan baru sekarang ternyata oleh dua orang muda itu bahwa mereka duduk di puncak batu karang yang amat tinggi!

Swat Hong mengeluh, baru terasa betapa penat tubuhnya, betapa luka-luka kecil dari kulitnya yang lecet-lecet, dan betapa haus dan lapar leher dan perut!

"Sumoi, badai sudah mereda. Mari kita turun. Aihh, itu perahu kita. Untung tidak pecah," kata Sin Liong dan dia menggandeng tangan sumoinya, menuruni batu karang.

Perahu mereka tidak pecah, akan tetapi layar dan dayungnya lenyap. Sin Liong mengangkat perahu itu, membawanya turun ke bawah. "Mari kita lekas pulang, Sumoi. Biar kudayung dengan kedua tangan."

Swat Hong duduk di dalam perahu, mengeluh lagi dan berkata penuh kegelisahan, "Bagaimana dengan Pulau Es? Badai mengamuk demikian hebatnya, Suheng."

"Aku tidak tahu, mudah-mudahan mereka selamat. Maka, kita harus cepat pulang." Dia lalu menggunakan kedua lengannya yang kuat sebagai dayung. Perahu bergerak, meluncur di atas air yang tenang dan licin seperti kaca, sama sekali tidak ada tanda-tanda di permukaan air bahwa air itu telah mengamuk sedemikian hebatnya baru-baru ini.

Tak lama kemudian Sin Liong mendapatkan dayung yang dipatahkan dari batang pohon yang hanyut di air. Agaknya pulau-pulau kecil di sekitar tempat itu telah diamuk badai sedemikian hebatnya sehingga pohon-pohon tumbang dan terbawa air. Setelah keadaan cuaca terang kembali, Sin Liong dapat menentukan arah perahu dan tak lama kemudian tampaklah Pulau Es dari jauh. Kelihatannya masih seperti biasa, sebuah pulau keputihan memanjang di kaki langit, berkilauan tertimpa sinar matahari. Hati mereka lega. Dari jauh kelihatannya tidak terjadi perubahan di Pulau itu. Setelah agak dekat, mereka melihat pula puncak atap istana di Pulau Es, maka legalah hati mereka.

Hati Sin Liong mulai berdebar tegang ketika perahunya sudah menempel di Pulau Es. Keadaannya begitu sunyi. Sunyi dan mati! Tidak kelihatan seorang pun di pantai, bahkan tidak nampak sebuah perahu pun. Dan bukit-bukit es tidak seperti biasanya, kacau balau tidak karuan dan berubah bentuknya! Dengan hati tidak enak kedua orang muda itu berlari-lari ke tengah pulau. Makin ke tengah, makin pucat wajah mereka. Tidak ada seorang pun kelihatan, dan juga pondok-pondok yang biasanya terdapat di sana-sini, sekarang habis sama sekali. Tidak ada sebuah pun pondok yang tampak! Seolah-olah semua telah disapu bersih, tersapu bersih dari pulau itu.

"Auhhhh...!" Swat Hong berdiri dengan muka pucat, kedua kakinya menggigil.

"Mari kita ke istana, Sumoi!" Sin Liong yang berkata dengan suara gemetar lalu menyambar lengan sumoinya dan diajaknya dara itu lari ke dalam istana.

Beberapa kali terdengar Swat Hong mengeluarkan seruan tertahan, dan Sin Liong juga kaget bukan main. Mereka seperti memasuki sebuah kuburan! Sunyi, kosong, dan tidak ada bekas-bekasnya tempat itu didiami manusia! Habis sama sekali, baik perabot-perabot istana maupun manusia-manusianya! Tidak tertinggal sepotong pun benda atau seorang pun manusia. Habis semua! Ke mana pun mereka lari dan berteriak-teriak memanggil, yang terdengar hanya gema suara mereka sendiri!

"Oughhh...!!" Swat Hong tidak menahan himpitan perasaan yang ngeri dan berduka, tubuhnya tergelimpang dan tentu akan terbanting kalau tidak cepat disambar oleh Sin Liong.

"Sumoi...!" Akan tetapi suara ini kandas dikerongkongannya dan tanpa disadari pula, kedua pipi Sin Liong basah oleh air matanya yang mengalir deras menuruni kanan kiri hidungnya ketika dia memondong tubuh sumoinya yang pingsan itu ke dalam kamar.

Akan tetapi dia termangu-mangu ketika tiba di ambang pintu kamar yang terbuka, karena kamar itu pun kosong dan bersih, tidak ada sebuah atau sepotong pun perabotnya. Terpaksa dia merebahkan tubuh sumoinya di atas lantai, dan dia sendiri merebahkan kepala di atas kedua tututnya sambil menangis. Terlampau hebat peristiwa yang dihadapinya. Pulau Es telah disapu bersih oleh badai! Bersih sama sekali sehingga agaknya tidak ada seorang pun manusia yang tertolong, tidak ada sepotong pun barangnya yang tinggal, kecuali bangunan istana yang memang amat kuat itu.

Setelah siuman, Swat Hong menangis. "Aih, mengapa...? Mengapa...? Ayah, kasihan sekali Ayah...!"

Akhirnya Sin Liong dapat menghibur dan membujuknya. Mereka berdua lalu mengadakan pemeriksaan dan mendapat kenyataan bahwa benar-benar Pulau Es telah diamuk badai. Agaknya air laut telah naik sedemikian tinggi sehingga pulau itu terendam air. Mereka menemukan beberapa potong pakaian yang tersangkut di batu-batu dan dengan hati terharu penuh kedukaan mereka mengumpulkan pakaian itu, entah punya siapa, sebagai barang peninggalan yang amat berharga. Kemudian mereka memeriksa istana. Memang ada beberapa benda yang masih tertinggal di dalam kamar di bawah tanah, akan tetapi yang berada di atas, semua habis dan lenyap.

"Suheng, lihat ini...!" tiba-tiba Swat Hong berkata sambil menunjuk ke dinding.

Sin Liong cepat menghampiri dan keduanya mengenal goresan tangan Han Ti Ong yang agaknya menggunakan jari tangan yang penuh tenaga sinkang untuk menulis di dinding batu itu!

"Sin Liong dan Swat Hong, maafkan aku. Thian telah menghukum aku dan membasmi Pulau Es. Pergilah kalian mencari wanita jahat itu, rampas kembali semua pusaka. Dan Bu Ong bukanlah puteraku, dia keturunan Kai-ong."

Pendek saja "surat dinding" itu, namun cukup jelas isinya. Sin Liong menarik napas panjang. Kasihan dia kepada suhunya yang mati meninggalkan dendam itu!

"Suheng lihat ini..."

Tak jauh dari tulisan itu terdapat bekas jari-jari tangan mencengkeram dinding. Mudah saja mereka menggambarkan keadaan Han Ti Ong dan keduanya tak dapat menahan tangis mereka. Agaknya, dalam menghadapi amukan badai, Han Ti Ong berhasil menggunakan tenaganya untuk mempertahankan diri beberapa lamanya dengan mencengkeram dinding dan sempat pula membuat tulisan itu sebelum kekuatan yang jauh lebih besar dari pada kekuatannya menyeret keluar dari istana dan bahkan dari pulau itu!

"Kasihan sekali Suhu...." Sin Liong menghapus air matanya.

Swat Hong mengepal tinjunya. "Aku akan mencari perempuan iblis itu, selain merampas kembali pusaka Pulau Es, juga menghukumnya! Dialah yang mencelakakan Ibuku, yang mencelakakan Ayahku!"

Sin Liong menarik napas panjang. Sudah diduganya ini. Tentu akan terjadi balas-membalas. Dendam tak kunjung habis! "Sumoi, Suhu hanya meninggalkan pesan agar kita mencari kembali pusaka-pusaka itu...."

"Kau yang mencari pusaka, aku yang membunuh iblis betina itu!" Swat Hong berseru penuh semangat. "Dan Bu Ong... hemm, apa pula artinya ini? Bukan putera Ayah?"

"Sumoi, tenanglah dan dengarlah penuturanku. Mungkin hanya aku dan ayahmu saja yang tahu akan nasib wanita itu, nasib yang amat buruk dan mengerikan. Tahukah kau apa yang telah di alami oleh The Kwat Lin sebelum ditolong ayahmu?" Sin Liong lalu menceritakan keadaan The Kwat Lin yang menjadi gila karena dua belas orang suhengnya dibunuh orang dan agaknya, melihat keadaannya, gadis yang tadinya seorang pendekar wanita perkasa itu telah diperkosa di antara mayat para suhengnya.

"Kurasa demikianlah kejadiannya. Setelah Suhu menyatakan bahwa Bu Ong adalah keturunan Kai-ong, teringatlah aku. Jelas bahwa The Kwat Lin diperkosa oleh pembunuh dua belas orang anak murid Bu-tong-pai itu, sehingga anak yang dilahirkannya itu, Han Bu Ong, adalah keturunan Kai-ong yang memperkosanya dan membunuh para suhengnya."

Mendengar penuturan tentang nasib mengerikan yang dialami ibu tirinya, Swat Hong bergidik. Akan tetapi dia mengomel. "Yang berbuat jahat kepadanya adalah Raja Pengemis itu, mengapa dia membalasnya kepnda ibu? Dan dia telah menghancurkan penghidupan Ayah. Betapapun juga, aku harus mencarinya dan membalaskan sakit hati Ibu dan Ayah."

Sin Liong maklum bahwa membantah kehendak sumoinya ini percuma, hanya akan menimbulkan pertentangan saja. Maka diam-diam dia mengambil keputusan untuk selalu mendampingi sumoinya, selain menjaga keselamatan dara ini, juga kalau perlu mencegah sepak terjangnya yang terdorong oleh nafsu dan dendam. Betapapun juga, setelah Pulau Es dibasmi oleh badai, dara ini kehilangan ayah bunda, tiada sanak kadang, tiada handai taulan dan dialah satu-satunya orang yang patut melindunginya, sebagai suhengnya. Ataukah sebagai calon suami? Sin Liong tidak mengerti dan tidak berani memutuskan. Biarlah itu dia serahkan kepada keadaan kelak. Dia tidak membantah ketika sumoinya mengajaknya meninggalkan Pulau Es telah kosong itu, untuk mencari dan kalau masih juga tidak berhasil, untuk pergi ke daratan besar mencari The Kwat Lin.

Beberapa hari kemudian, setelah yakin benar bahwa tidak ada seorang pun di antara penghuni Pulau Es yang selamat dan kembali ke pulau itu, Sin Liong dan Swat Hong berangkat meninggalkan Pulau Es. Ketika perahu kecil yang mereka dayung itu meluncur meninggalkan pulau, Swat Hong memandang ke arah pulau dengan air mata bercucuran. Juga Sin Liong merasa terharu dan berduka mengingat akan nasib para penghuni Pulau Es yang mengerikan itu. Mereka berdua mendayung perahu menuju ke selatan dan di sepanjang perjalanan ini mereka menemukan bukti-bukti kedahsyatan badai dan keanehan alam yang diakibatkan oleh letusan gunung berapi di bawah laut itu. Ada pulau yang lenyap sama sekali, dan ada pula pulau baru yang muncul begitu saja, pulau yang amat aneh, pulau batu karang yang masih jelas kelihatan bahwa pulau ini tadinya merupakan dasar laut dengan segala keindahannya, dengan mahluk hidup dan tetumbuhannya yang kini semua mengeras menjadi batu karang dengan bermacam bentuk. Banyak pulau yang mengalami nasib serupa dengan Pulau Es, yaitu menjadi gundul, habis sama sekali tetumbuhan atasnya. Diam-diam terbayang dalam pikiran Sin Liong betapa dahsyat kekuasaan alam. Andaikata semua lautan yang mengamuk seperti beberapa hari yang lalu itu, agaknya dunia akan menjadi kiamat!

***

Melihat keadaan pulau-pulau itu, timbul rasa khawatir dalam hati Sin Liong tentang keadaan Pulau Neraka. Tentu pulau itu pun tidak terluput dari amukan badai, pikirnya. Padahal baru saja pulau itu mengalami penyerbuan Han Ti Ong dan pasukannya! Sin Liong merasa kasihan sekali terhadap nasib para penghuni Pulau Neraka. Apakah pulau itu seperti juga Pulau Es, disapu bersih dan seluruh penghuninya terbasmi habis?

"Agaknya Ibumu tidak berada di antara pulau-pulau ini," beberapa hari kemudian setelah merasa mencari dengan sia-sia, Sin Liong mengemukakan pendapat, "Bagaimana kalau kita mencari ke utara lagi. Siapa tahu sekali ini kita berhasil, dan kita dapat juga bertanya ke Pulau Neraka kalau-kalau Ibumu ke sana."

"Hemm. agaknya engkau sudah rindu kepada Soon Cu, Suheng."

Sin Liong mengerutkan alisnya. "Sumoi, kau... cemburu lagi?"

Wajah dara itu menjadi merah. "Aku hanya berkata sewajarnya."

"Sudahlah. Kalau kau cemburu, kita tidak usah singgah di Pulau Neraka," kata Sin Liong menarik napas panjang.

Hening sejenak dan mereka telah menghentikan gerakan dayung karena mereka masih belum mendapat keputusan akan mencari ke mana.

"Kita ke Pulau Neraka!" tiba-tiba Swat Mong berkata.

"Ehhh...??"

Aku harus ke sana. Aku akan menegur kakek berkepala besar itu! Pulau Neraka yang menjadi biang keladi sehingga Ayah marah-marah kepada kita, hampir saja kita dibunuhnya. Karena Pulau Neraka telah berani menawanku."

"Hemm, Sumoi. Mengapa kejadian yang telah lewat dipersoalkan lagi? Bukankah Ayahmu telah menyerbu ke sana dan kurasa Ayahmu telah menghukum mereka menurut cerita anak buah pasukan? Kalau begitu, kita tidak perlu pergi ke sana, Sumoi."

"Aku harus pergi ke sana!" dara itu berkeras.

Sin Liong menggeleng-geleng kepala. Sukar benar melayani sumoinya ini yang memiliki watak aneh dan hati yang keras seperti baja.

"Aku hanya mau pergi ke Pulau Neraka kalau untuk mencari Ibumu, akan tetapi kalau kita pergi ke sana hanya untuk mencari perkara, aku tidak mau. Kau harus berjanji tidak akan membuat kekacauan di sana, Sumoi."

"Hemmm, agaknya kau berkeinginan keras untuk menjadi sahabat baik Pulau Neraka, ya? Karena ada..."

"Sumoi, harap jangan bicara yang tidak-tidak. Memang kita sahabat baik mereka! Lupakah kau ketika mereka mengantar kita meninggalkan pulau itu? Karena itu, aku hanya mau pergi ke sana kalau untuk mencari Ibumu dan menjenguk mereka sebagai sahabat, melihat keadaan mereka setelah ada badai mengamuk."

Swat Hong cemberut, akan tetapi menjawab juga. "Baiklah, kita lihat saja nanti."

Dan mereka lalu mendayung perahu dengan cepat menuju ke Pulau Neraka. Akan tetapi, setelah mereka tiba di daerah Pulau Neraka, mereka menjadi bingung dan pangling karena di daerah itu telah terjadi perubahan hebat sekali. Mungkin karena akibat badai yang mengamuk, yang ternyata mengambil daerah yang amat luas itu, di sekitar situ muncul gunung-gunung es yang amat besar sehinggar Pulau Neraka yang biasanya tampak dari jauh sebagai raksasa yang tidur itu kini tidak kelihatan lagi karena semua jurusan terhalang pandangannya oleh gunung-gunung es.

Mereka mendayung perahu berputaran namun tidak dapat keluar dari kurungan gunung-gunung es itu.

"Ahhh, dahulu tidak ada gunung-gunung es besar seperti ini," kata Swat Hong.

"Ini tentu diakibatkan oleh badai itu, Sumoi. Biarlah kita mengaso dulu dan aku akan mencoba melihat keadaan dari puncak sebuah gunung. Kau tunggu saja di sini." Perahu itu menempel pada sebuah bukit es yang tinggi dan Sin Liong meloncat ke daratan es. Kemudian dia menggunakan" ilmunya berlari cepat, mendaki gunung es itu untuk melihat dan mengenali daerah itu dari atas puncaknya yang tinggi.

Tiba-tiba terdengar suara gerengan keras sekali yang mengguncangkan seluruh gunung es itu. Sin Liong terkejut dan dengan cepat dia menoleh untuk melihat apa yang mengeluarkan suara seperti itu. Dari jauh tampak olehnya seekor biruang besar sedang menggerakkan kedua kaki depannya ke arah burung-burung yang menyambar-nyambar di atasnya. Burung-burung nazar (burung botak pemakan bangkai) yang besar-besar beterbangan di atas biruang itu dan menyerangnya dari atas sambil mengeluarkan suara pekik mengerikan.

Melihat ini, Sin Liong cepat berlari mendekati. Ternyata biruang itu terluka parah juga di beberapa bagian anggauta badannya, sedangkan di bawah kakinya tampak bangkai seekor ular laut yang besar. Jelaslah bahwa biruang itu tadi berkelahi dengan ular laut itu dan dia menang, akan tetapi dia menderita luka-luka dan burung-burung nazar yang kelaparan itu kini hendak mengeroyoknya dan tentu saja ingin makan bangkai ular besar.

Sin Liong segera mengunakan salju yang digenggam untuk menyambiti burung-burung itu. Terdengar suara plak-plok-plak-plok disusul suara burung-burung nazar berkaok-kaok kesakitan dan mereka terbang ketakutan menjauhi tempat itu karena setiap kali terkena sambitan salju, terasa nyeri sekali. Dengan beberapa loncatan saja Sin Liong sudah tiba di depan biruang itu. Biruang yang berkulit hitam dan amat besar itu menyeringai dan mengerang, memperlihatkan gigi bertaring yang amat runcing kuat dan lidah yang merah. Matanya terbelalak penuh kecurigaan dan kemarahan kepada Sin Liong.

"Tenanglah, aku datang untuk menolongmu," kata Sin Liong sambil maju lebih dekat.

"Auuughhh...!" Biruang itu menggereng dan kaki depan yang kiri menyambar ke arah dada Sin Liong. Melihat betapa telapak kaki itu berdarah, Sin Liong mengelak dan cepat menangkap pergelangan kaki depan itu.

Kiranya telapak kaki itu tertusuk tulang dan masuk amat dalam. Agaknya dalam perkelahiannya melawan ular laut, biruang ini mencengkeram tubuh ular dan sedemikian kuatya dia mencengkeram sampai ada tulang punggung ular patah dan menusuk ke dalam daging di telapak kaki depan itu. Sin Liong segera mencabut tulang itu. Darah mengucur deras dan dia segera membalut dengan saputangannya.

Biruang itu kini tidak marah lagi. Agaknya dia cerdik dan depat mengerti bahwa orang yang datang ini bukan musuh, bahkan menolongnya. Kaki depan yang terluka itu kini tidak nyeri lagi dan tentu saja, karena yang membuat dia tersiksa rasa nyeri tadi adalah karena tulang yang menancap itu.

"Coba kuperiksa, apa lagi yang perlu kuobati," Sin Liong berkata dan dia memeriksa luka-luka di tubuh biruang itu. Ada sebuah luka di tengkuk yang membengkak. Tahulah Sin Liong bahwa luka ini cukup berbahaya, kalau tidak lekas diberi obat yang cocok akan dapat membahayakan nyawa biruang itu. "Hemmm, aku harus mencarikan daun obat untuk luka-lukamu," katanya, lupa bahwa biruang itu tentu saja tidak mengerti apa yang dia katakan.

"Hai, Suheng, ada apakah?" Tiba-tiba terdengar teriakan dari atas.

Sin Liong menoleh dan melihat sumoinya turun berlari-lari cepat sekali. Setelah dekat, biruang itu menggereng dan memandang Swat Hong dengan marah.

"Huh, binatang buruk!" Swat Hong memaki.

"Dia terluka cukup berat, akan tetapi dia menang berkelahi melawan ular laut itu. Lihat, betapa besarnya ular itu, Sumoi. Biruang ini kuat sekali. Aku harus mengobatinya sampai sembuh."

Swat Hong mengerutkan alisnya, "Perlu apa menolong binatang buas seperti itu, Suheng? Membuang-buang waktu saja."

"Dia tidak buas lagi, Sumoi. Lihat betapa jinaknya. Dia pun mahluk hidup yang perlu kita tolong. Aku merasa kasihan kepadanya, Sumoi."

"Wah, kau lebih mementingkan dia..."

"Hei..., ada apa engkau...?" Tiba-tiba Sin Liong berteriak melihat biruang itu menggereng-gereng dan menarik-narik tangannya, seolah-olah hendak mengajak Sin Liong pergi dari situ! Biruang itu makin keras menggereng dan makin kuat menariknya. Diam-diam Sin Liong kagum bukan main. Tenaga biruang ini luar biasa besarnya, dan kiranya dia hanya akan dapat menandingi tenaga raksasa ini kalau dia mengerahkan sin-kang sekuatnya! Akan tetapi tiba-tiba dia mendapat firasat tidak baik melihat sikap biruang itu, maka disambarnya tangan sumoinya dan dia berteriak. "Awas, Sumoi. Mari pergi, dia menghendaki demikian, entah mengapa?"
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0372 seconds (0.1#10.140)