Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jilid 3 Bagian 2
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo , Bukek Siansu
"Hemmm... berbahaya...." Han Ti Ong melepaskan Sin Liong dan menghela napas panjang sambil memandang bocah itu yang sudah berlutut di depannya.
"Locianpwe selain sakti dan budiman, juga cerdik sekali...." Sin Liong berkata memuji sambil memandang wajah Pangeran itu dengan penuh kagum.
Han Ti Ong mengerutkan alisnya. "Hemmm, mengapa kau mengatakan demikian, terutama apa artinya kau mengatakan aku cerdik?"
"Locianpwe mengalahkan mereka, berarti Locianpwe sakti sekali, Locianpwe mengampuni dan membiarkan mereka lolos, berarti Locianpwe budiman, dan Locianpwe tadi mencatat gerakan-gerakan mereka dan kemudian mengalahkan mereka dengan ilmu mereka sendiri yang Locianpwe catat berarti Locianpwe cedik sekali."
Wajah yang gagah itu berubah, mata tajam itu memandang heran dan kagum, kemudian dia berkata, "Wah, dalam kecerdikan, belum tentu kelak aku dapat melawanmu! Akal dan kecerdikan memang amat perlu untuk mempertahankan hidup di dunia yang penuh bahaya ini. Tahukah engkau bahwa tanpa menggunakan akal budi, memanaskan hati mereka dengan mengalahkan mereka dengan ilmu mereka sendiri, kalau mereka maju bersama mengeroyokku, belum tentu aku akan dapat menang! Sekarang kau sudah bebas dari bahaya, nah, aku pergi...!"
Melihat orang itu membalikkan tubuh dan melangkah pergi dari situ, Sin Liong memandang ke arah mayat sebelas orang dusun yang masih menggeletak di situ, maka dia berseru, "Locianpwe...."
Pangeran Han Ti Ong berhenti melangkah dan menoleh. Dia merasa heran sendiri. Tidak biasa baginya untuk mentaati perintah orang kecuali suara ayahnya, raja ke tiga dari Pulau Es. Akan tetapi, ada sesuatu dalam suara bocah itu yang membuat dia mau tidak mau menghentikan langkahnya, lalu menoleh dan bertanya, "Ada apa lagi?"
Dengan masih berlutut Sin Liong berkata, "Locianpwe, sudilah kiranya Locipwe menerima teecu sebagai murid.
Han Ti Ong kini memutar tubuh dan menghampiri anak yang masih berlutut itu.
"Bocah, siapa namamu?"
"Teecu she Kwa, bernama Sin Liong." Dengan ringkas Sin Liong lalu menuturkan tentang kematian ayah bundanya dan mengapa dia melarikan diri dan bersembunyi di hutan itu karena dia ngeri dan muak menyaksikan kekejaman manusia dan merasa mendapatkan tempat yang tenteram dan damai di tempat itu.
"Hemm, kau ingin menjadi muridku, hendak mempelajari apakah?"
"Mempelajari kebijaksanaan yang dimiliki Locianpwe, dan tentu saja mempelajari ilmu kesaktian."
"Kalau kau hanya ingin belajar silat, mengapa tadi kau menolak ketika para tokoh menawarkan kepadamu agar menjadi murid mereka? Mereka itu adalah tokoh-tokoh yang memiliki kesaktian hebat."
"Namun teecu masih melihat kekerasan di balik kepandaian mereka. Teecu kagum kepada Locianpwe bukan hanya karena ilmu kesaktian, terutama sekali karena sifat welas asih pada diri Locianpwe."
"Tapi kau hendak belajar silat, mau kaupakai untuk apa? Bukankah kau lebih dibutuhkan dan berguna berada di sini bagi penduduk sekitar Jeng-hoa-san?"
"Maaf Locianpwe. Tidak ada seujung rambut pun hati teecu untuk mempergunakan ilmu kesaktian dalam tindakan kekerasan. Dan tidak tepat pula Kalau kepandaian teecu di sini berguna bagi para penduduk. Buktinya, teecu hanya bisa mengobati orang sakit, itu pun kalau kebetulan jodoh, sedangkan sebelas orang ini, tertimpa bahaya maut sampai mati tanpa teecu dapat mencegahnya sama sekali. Andaikata teecu memiliki kepandaian seperti Locianpwe, apakah sebelas orang ini akan tewas secara demikian menyedihkan? Teecu kini melihat bahwa menolong orang tidak hanya mengandalkan ilmu pengobatan, juga untuk menyelamatkan sesama manusia dari tindasan orang kuat yang jahat, diperlukan kepandaian. Mohon Locianpwe sudi memenuhi permintaan teecu."
"Aku adalah seorang penghuni Pulau Es. Hidup di sana tidaklah mudah dan enak, tidak seperti di sini. Kau akan mengalami kesukaran, bahkan menderita di tempat yang dingin itu."
"Kesukaran apa pun akan teecu terima dengan hati rela, karena tiada hasil dapat dicapai tanpa jerih payah, Locianpwe."
Han Ti Ong tersenyum. Memang dia sudah tertarik sekali melihat bocah yang dijuluki Sin-tong ini. Bocah ini sama sekali tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri. Ingin belajar silat bukan sekali-kali untuk menjaga diri sendiri, melainkan untuk keselamatan orang lain yang lemah. Selain itu, pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa bocah ini memang benar-benar bocah ajaib, memiliki ketajaman otak dan pandangan yang luar biasa, juga memiliki darah dan tulang bersih, bakatnya malah jauh lebih besar daripada dia sendiri! Kalau tadinya dia tidak mau menerima bocah ini sebagai murid adalah karena dia merasa malu terhadap diri sendiri, karena kalau dia mengambil anak ini sebagai murid, lalu apa bedanya antara dia dengan tujuh orang yang dihalaunya pergi tadi? Akan tetapi, memang ada bedanya sekarang setelah Sin Liong sendiri yang mengajukan permohonan agar diterima menjadi muridnya.
"Kalau memang sudah bulat kehendakmu menjadi muridku, baiklah, Sin Liong. Mari kauikut bersamaku, akan tetapi jangan menyesal kelak. Hayo!" Han Ti Ong kembali membalikkan tubuhnya dan hendak melangkah pergi.
"Suhu, nanti dulu...!"
Pangeran itu mengerutkan alisnya. Lagi-lagi dia mendengar pengaruh yang luar biasa di balik suara anak itu yang memaksanya menoleh! Dengan suara kesal dia berkata, "Mau apa lagi??"
"Maaf, Suhu. Teecu mana bisa meinggalkan sebelas buah mayat itu di sini begini saja?"
"Habis, apa maumu?"
"Teecu harus mengubur mereka lebih dulu sebelum pergi."
"Kalau aku melarangmu?"
"Teecu tidak percaya bahwa Suhu akan sekejam itu, teecu yakin akan kebaikan budi Suhu. Akan tetapi andaikata Suhu behar melarang teecu, terpaksa teecu akan membangkang dan tetap akan mengubur mayat-mayat ini."
Sepasang mata pangeran itu terbelalak penuh keheranan. Anak berusia tujuh tahun sudah berani memiliki pendirian seperti batu karang kokohnya.
"Murid macam apa kau ini? Belum apa-apa sudah siap membangkang terhadap Guru!"
"Teecu menjadi murid bukan membuta, dan teecu ingin mempelajari ilmu yang baik. Kalau teecu mentaati saja perintah Suhu yang tidak benar, sama saja dengan teecu menyeret Suhu ke dalam kesesatan."
Mata Han Ti Ong makin terbelalak. Hampir dia marah, akan tetapi dia dapat melihat apa yang tersembunyi di balik ucapan yang kelihatan kurang ajar itu dan dia mengangguk-angguk. "Lakukanlah kehendakmu, aku menunggu."
"Terima kasih! Teecu memang tahu bahwa Suhu seorang sakti yang budiman!"
Dengan wajah berseri Sin Liong lalu menggali lubang. Akan tetapi karena dia hanya seorang anak kecil dan yang dipergunakan menggali hanyalah sebatang cangkul biasa yang kecil pemberian orang-orang dusun dan yang biasa dia pergunakan untuk menggali dan mencari akar obat, maka tentu saja menggali sebuah lubang untuk mengubur sebelas buah mayat bukan merupakan pekerjaan ringan dan mudah!
Mula-mula Han Ti Ong duduk di bawah pohon dan melirik ke arah murid nya itu yang bekerja keras. Disangkanya bahwa tentu bocah itu akan kelelahan dan akan beristirahat. Akan tetapi dia kecele. Sin Liong bekerja terus biarpun kaki tangannya sudah pegal-pegal semua dan keringat membasahi seluruh tubuh, menetes dari dahinya dan kadang-kadang diusapnya dengan lengan baju. Akan tetapi dia tidak pernah berhenti bekerja. Sudah setengah hari mencangkul, baru dapat membuat lubang yang hanya cukup untuk dua buah mayat saja. Kalau dilanjutkan, agaknya untuk dapat menggali lubang yang cukup untuk semua mayat, dia harus bekerja selama dua hari dua malam atau lebih!
"Hemm, hatinya lembut tapi kemauanya keras. Benar-benar bocah ajaib," Han Ti Ong mengomel sendiri dan dia lalu bangkit, dirampasnya cangkul dari tangan muridnya dan tanpa berkata apa-apa lagi dia lalu mencangkul. Gerakannya amat cepat sekali sehingga Sin Liong yang mundur dan menonton menjadi di kabur pandangan matanya karena seolah-olah tubuh gurunya berubah menjadi banyak, semuanya mencangkul dan sebentar saja telah terbuat sebuah lubang yang amat besar dan yang cukup untuk mengubur sebelas buah mayat itu. Tentu saja hati Sin Liong girang bukan main dan satu demi satu diangkat, atau lebih tepat diseretnya mayat-mayat itu, dimasukkan ke dalam lubang dan air matanya bercucuran.
Han Ti Ong membantu muridnya mengguruk atau menutup lubang itu sehingga di tempat itu, di depan gua tempat tinggal Sin Liong, terdapat sebuah kuburan yang besar sekali.
"Sudahlah, sudah mati ditangisipun tidak ada gunanya, Mari kita pergi!" Sin Liong merasa lengannya dipegang oleh gurunya dan di lain saat dia harus memejamkan matanya karena tubuhnya telah "terbang" dengan amat cepatnya meninggalkan Gunung Jeng-hoa-san, entah ke mana!
Akan tetapi setelah merasa terbiasa, Sin Liong berani juga membuka matanya dan dengan penuh kagum dia melihat bahwa dia di kempit oleh suhunya yang berlari cepat seperti angin saja. Dia mengenal pula tempat di mana suhunya melarikan diri yaitu ke sebelah timur Pegunungan Jeng-hoa-san. Tiba-tiba dia melihat sesuatu, juga hidungnya mencium sesuatu, maka dia cepat berseru, "Suhu, harap berhenti dulu!"
Han Ti Ong berhenti. "Ada apa?"
"Suhu, di sana itu..." Suara Sin Liong tergetar dan ketika Han Ti Ong menoleh, dia pun merasa jijik sekali. Yang ditunjuk oleh muridnya itu adalah sekumpulan mayat orang yang sudah membusuk, dua belas orang laki-aki yang sudah menjadi mayat rusak dan bekasnya menunjukkan bahwa mayat-mayat itu tentu telah diganggu oleh binatang-binatang buas sehingga berserakan ke sana-sini.
"Mau apa kau?" Han Ti Ong membentak.
"Suhu apakah kita harus mendiamkan saja mayat-mayat itu? Mereka adalah bekas-bekas manusia seperti kita juga. Kasihan kalau tidak diurus.
"Wah, kau memang gatal-gatal tangan! Nah, hendak kulihat apa yang akan kaulakukan terhadap mereka?" Han Ti Ong menurunkan Sin Liong dan dia sendiri lalu duduk di atas sebuah batu dari tempat agak jauh. Dia sungguh ingin tahu apa yang akan dilakukan muridnya itu terhadap mayat-mayat yang sudah demikian membusuk, bahkan dari tempat dia duduk pun tercium baunya yang hampir membuatnya muntah.
Dengan langkah lebar Sin Liong menghampiri mayat-mayat itu, sedikit pun tidak kelihatan jijik atau segan. Kemudian, diikuti pandang mata Han Ti Ong yang terheran-heran bocah itu mulai menggali tanah dengan hanya menggunakan sebatang pisau kecil, pisau yang biasanya dipergunakan untuk memotong-motong daun dan akar dan yang agaknya tak pernah terpisah dari saku bajunya. Anak itu hendak menggali lubang untuk mengubur dua belas buah mayat busuk itu hanya dengan menggunakan sebatang pisau kecil! Hampir saja Han Ti tertawa bergelak saking geli hatinya, juga saking girangnya mendapat kenyataan bahwa muridnya ini benar-benar seorang bocah ajaib yang mempunyai pribudi luhur dan wajar tanpa dibuat-buat! Dengan kagum dia meloncat bangun lari menghampiri muridnya yang telah menggali lubang beberapa sentimetar dalamnya.
"Cukup Sin Liong. Lubang itu sudah cukup lebih dari cukup untuk mengubur mereka."
"Ehhh...? Mana mungkin, Suhu..?"
"Ha, kau masih meragukan kelihaian Suhumu? Lihat baik-baik!" Han Ti Ong lalu mengeluarkan sebuah botol dari saku jubahnya, menggunakan ujung sepatunya mencongkel mayat-mayat itu menjadi setumpukan barang busuk, dan dia menuangkan benda cair berwarna kuning cari dalam botol ke atas tumpukan mayat. Tampak uap mengepul dan tumpukan mayat itu mencair, dalam sekejap mata saja lenyaplah tumpukan mayat itu karena sepiua, berikut tulang-tulangnya, telah mencair dan cairan itu mengalir ke dalam lubang yang tadi digali Sin Liong. Benar saja, cairan itu memasuki lubang dan meresap ke tanah, tentu saja lubang itu sudah lebih dari cukup untuk menampung cairan itu.
Dengan mata terbelajak penuh kagum, Sin Liong lain menguruk lagi lubang itu dan berlutut di depan kaki suhunya, "Suhu tenma kasih atas bantuan Suhu. Suhu sungguh sakti dan budiman."
"Aahhh,..!" Muka Han Ti Ong menjadi merah dan dia mengeluarkan seruan itu untuk menutupi rasa malunya. Mana bisa dia disebut budiman kalau mengubur mayat-mayat itu bukan terjadi atas kehendaknya, melainkan dia "terpaksa" oleh muridnya?
"Kalau aku tidak salah lihat, mereka ini adalah pendekar-pendekar gagah. Sungguh kematian yang menyedihkan dan entah siapa yang dapat membunuh mereka. Mereka kelihatan bukan orang-orang sembarangan yang mudah dibunuh. Mari kita pergi, Sin Liong!" Kembali murid itu dikempitnya dan pangeran sakti itu menggunakan ilmu berlan cepat seperti tadi, melanjutkan perjalanan ke timur menuruni Pegunungan Jeng-hoa-san.
Tak lama kemudian, kembali Sin Liong yang dikempit (dijepit di bawah tangan) berseru, "Haiiii Suhu, harap berhenti dulu...!"
Han Ti Ong menjadi gemas. Akan tetapi dia berhenti juga menurunkan bocah itu dari kempitan di bawah ketiaknya. "Mau apa lagi kau? Awas, kalau tidak penting sekali, aku akan marah!"
"Lihat di sana itu, Suhu. Tidak patutkah kita menolong orang yang sengsara itu? Siapa tahu dia juga sudah mati di sana...." Tanpa menanti jawaban suhunya, Sin Liong sudah lari menghampiri sesosok tubuh yang menggelatak di bawah pohon tak jauh dari situ. Tubuh itu tidak bergerak-gerak, akan tetapi dari tempat ia berdiri, Han Ti Ong mengerti bahwa orang itu belum tewas, agaknya pingsan atau tertidur saja.
Dia tersenyum dan melihat muridnya sudah menjatuhkan diri berlutut di depan orang itu. Betapa kagetnya ketika dia mendengar teriakan muridnya, "Eihh, Suhu! Dia, seorang wanital"
Hah Ti Ong terheran. Dia lalu meloncat ke arah muridnya dan melihat betapa tiba-tiba orang yang disangkanya pingsan itu sudah meloncat bangun dan langsung memukul kepala Sin Liong dengan kekuatan dahsyat.
"Wuuuuttt... plakkkk! Augghhh...!!" Wanita yang mukanya kotor matanya merah dan rambutnya awut-awutan itu menjerit ketika pukulannya tertangkis oleh lengan Han Ti Ong yang amat kuat. Dia terhuyung ke belakang, sejenak memandang Han Ti Ong dan Sin Liong, kemudian menangis tersedu-sedu dan bergulingan di atas tanah, menangis seperti seorang anak kecil.
"Jangan... aughhh, jangan... lepaskan aku... lepaskan...! Jangan bunuh mereka...!
Sin Liong tertegun dan memandang penuh kasihan. Juga Han Ti Ong memandang dengan terharu, maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang berotak miring!
Toanio (Nyonya), kau kenapakah...? Sin Liong melangkah ke depan.
Tiba-tiba wanita itu meloncat bangun Han Ti Ong sudah siap melindungi muridnya yang sama sekali tidak kelihatan takut itu. Akan tetapi wanita itu lalu tiba-tiba tertawa terkekeh. "Hi-hi-hi-hikkk!" Aneh sekali, Ketika wanita itu tertawa, Han Ti Ong melihat wajah yang amat cantik manis! Wanita itu adalah seorang gadis muda yang amat cantik, akan tetapi yang entah mengapa telah menjadi gila. Pakaian yang dipakainya adalah pakaian pria yang terlalu besar, rambutnya yang hitam panjang itu riap-riapan tidak diurus, mukanya kotor terkena debu dan air mata, matanya merah dan membengkak.
"Hi-hi-hik, kubunuh engkau, Pat-jiu Kai-ong, aku bersumpah akan membunuhmu untuk membalas kematian dua belas orang Suhengku!" Kemudian dia menangis lagi. "Hu-hu-huuuuh... Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai habis terbasmi...."
Han Ti Ong terkejut dan teringatlah dia akan nama Tiga Belas orang Pendekar Bu-tong-pai yang amat terkenal sebagai tiga belas orang pendekar gagah perkasa pembela keadilan dan kebenaran, teringat pula bahwa mereka terdiri dari dua belas pria dan seorang wanita, kalau tidak salah, saudara termuda.
"Nona, apakah engkau orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai?" tanyanya sambil melangkah maju menghampiri wanita gila itu.
"Jangan sentuh aku! Manusia terkutuk, jangan sentuh aku lagi!" Dan tiba-tiba wanita itu menyerang dengan hebatnya. Han Ti Ong menangkis dan menotok, Robohlah wanita itu, roboh dalam keadaan lemas tak dapat bergerak lagi.
"Suhu, mengapa...?" Sin Liong bertanya penasaran.
"Bodoh, kalau tidak kutotok, tentu dia akan mengamuk terus. Coba kauperiksa dia, apakah kau bisa mengobatinya?"
Sin Liong berlutut dan melihat wanita itu hanya melotot tanpa mampu bergerak. Setelah memeriksa sebentar, dia menarik napas panjang, "Suhu, dia terkena pukulan batin yang amat berat, membuat dia menjadi begini, berubah ingatannya. Kalau kita berada di Jeng-hoa-san, kiranya dapat teecu mencarikan daun penenang untuk mengobatinya."
"Hemm, kaulihatlah Gurumu mencoba untuk mengobatinya" Han Ti Ong mengeluarkan sebatang jarum emas dari sakunya, setelah membersihkan ujungnya dia lalu menghapiri wanita itu dan menusukkan jarum emasnya di tiga tempat, di tengkuk kanan kiri dan ubun-ubun! Sin Liong memandang dengan mata terbelalak. Dia sudah mendengar dari ayahnya tentang kepandaian orang mengobati dengan tusukan jarum, akan tetapi sekarang dia menyaksikannya, Dan wanita itu baru mengeluh lalu tertidur dengan pernapasan yang panjang dan tenang. Ketika gurunya mencabut jarum dan meyimpannya, gurunya berkata, "Coba kau periksa lagi matanya, apakah sudah ada perubahan?"
Sin Liong membuka pelupuk mata dan melihat bahwa mata wanita itu yang tadinya mengeluarkan sinar aneh yang liar, kini telah normal kembali. Dia cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan Suhunya. "Suhu, teecu seperti buta, tidak tahu bahwa Suhu adalah seorang ahli pengobatan pula."
"Hemm, dalam hal mengenal tetumbuhan obat, mana aku mampu menandingimu? Akan tetapi aku mempunyai kepandaian menusuk jarum, kepandaian turunan yang tentu kelak akan kuajarkan kepadamu."
"Suhu, teecu mengajukan sebuah permohonan, harap Suhu tidak keberatan."
"Hemm, apa lagi?"
"Harap Suhu suka menolong wanita malang ini, dan membiarkan dia ikut dengan kita."
"Kau... kau gila.,.?"
"Suhu, dia belum sembuh benar. Kalau.... dia dibiarkan di sini, lalu datang orang jahat, bagaimana?"
"Ha, kau tidak usah khawatir. Dia adalah orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap ilmu kepandaiannya tinggi. Siapa berani mengganggunya?"
"Buktinya, dua belas orang suhengnya tewas dan tentu mereka itu adalah mayat-mayat yang tadi kita kubur. Agaknya yang membunuh adalah Pat-jiu Kai-ong. Selain itu, kalau dia teringat akan peristiwa itu sebelum sembuh benar, tentu dia akan kumat gilanya dan apakah Suhu rega membiarkan dia seperti itu?"
Han Ti Ong memandang wajah wanita yang bukan lain adalah The Kwat Lin itu. Dia terheran sendiri mengapa wajah yang kotor dan rambut yang kusut itu mendatangkan rasa iba yang luar biasa di hatinya? Mengapa dia merasa tertarik dan ingin sekali menolong wanita muda ini? Apakah dia sudah "ketularan" watak muridnya, ataukah... ataukah...? Dia tidak berani membayangkan. Selama ini hanya isterinya seoranglah wanita yang menarik hatinya, yang membangkitkan gairahnya, akan tetapi perempuan gila ini... entah mengapa, telah membuat dia tertarik dan kasihan sekali.
"Sudahlah, kau memang cerewet, dan kalau tidak kuturuti, tentu kau rewel terus. Biar kita membawa bersama ke Pulau Es, kita lihat saja nanti bagaimana perkembangannya." Ucapan terakhir ini seperti ditujukan kepada hatinya sendiri! Teeeu tahu, Suhu adalah seorang yang budiman."
Dengan hati mengkal karena ucapan muridnya itu seperti ejekan kepadanya karena dia mau menolong dara ini sama sekali bukan karena dia budiman, melainkan karena dia kasihan dan terutama sekali... tertarik hatinya, dengan kasar dia lalu mengempit tubuh wanita itu di bawah ketiak kanannya, dan menyambar tubuh Sin Liong di bawah ketiak kirinya dan larilah Pangeran yang sakti ini secepat terbang menuju ke pantai lautan.
***
Siapakah sebetulnya manusia sakti yang ditakuti oleh tujuh orang tokoh kang-ouw itu? Siapakah Pangeran Han Ti Ong yang pada bagian dada bajunya terdapat lukisan burung Hong dan seekor Naga emas itu?
Dia adalah pangeran dari Pulau Es. Pulau ini merupakan pulau rahasia yang hanya dikenal orang kang-ouw seperti dalam dongeng karena tidak pernah ada orang yang berhasil menemukan pulau itu, kecuali beberapa orang nelayan yang perahunya diserang badai dan mereka ini ditolong oleh manusia-manusia sakti, manusia yang menjadi penghuni Pulau Es, sebuah pulau dari es di mana terdapat istana indah dan merupakan sebuah kerajaan kecil penuh dengan orang sakti. Setelah ditolong dan diselamatkan, dan berhasil kembali ke daratan, para nelayan inilah yang membuat cerita seperti dongeng itu sehingga nama sebutan Pulau Es terkenal di dunia kang-ouw.
Kerajaan di Pulau Es itu dibangun oleh seorang pangeran, ratusan tahun yang lalu. Seorang pangeran yang amat sakti, seorang pangeran yang dianggap pemberontak karena berani menentang kehendak kaiser, dan pangeran ini bersama keluarganya menjadi pelarian. Dengan kesaktiannya, dia berhasil melarikan keluarganya ke pantai timur dan menggunakan sebuah perahu untuk mencari tempat baru. Tujuannya adalah ke pulau di timur di mana dahulu sudah banyak orang-orang pandai dari daratan yang melarikan diri dan menjadi buronan karena berani menentang pemerintah, yaitu Kepulauan Jepang! Akan tetapi dia tersesat jalan, perahunya dilanda badai hebat dan perahunya dibawa jauh ke utara sampai kemudian perahu itu mendarat sebuah pulau. Pulau Es! Melihat pulau ini tersembunyi, baik sekali dijadikan tempat persembunyiannya, dan di sekitar situ terdapat pulau-pulau lain yang tanahnya cukup subur, maka pangeran pelarian ini mengambil keputusan untuk menjadikan Pulau Es sebagai tempat tinggalnya. Dia lalu mengumpulkan orang-orang yang setia kepadanya, membawa mereka ke Pulau Es menjadi pengikut-pengikutnya. Dibangunnya sebuah? istana yang kecil namun indah di pulau itu dan berdirilah sebuah kerajaan kecil di tempat terasing ini!
Berkat kebijaksanaan Raja Pulau Es ini, para pengikutnya dan keluarga raja hidup aman tenteram dan penuh kebahagiaan di Pulau Es. Para keluarganya hidup rukun dan para pengikutnya membentuk keluarga-keluarga sehingga penghuni pulau itu berkembang biak. Karena kesaktian rajanya, dan karena letak pulau itu yang sukar dikunjungi orang luar, maka kerajaan kecil ini tidak pernah terganggu. Raja itu mewariakan kepandaiannya kepada keturunannya, merupakan ilmu-ilmu warisan yang hebat, dan tentu saja para pengikut mereka mendapat pula pelajaran ilmu yang tinggi.
Pangeran Han Ti Ong adalah keturunan ke empat dari paja pertama di Pulau Es. Pangeran ini berbeda dengan keturunan raja yang sudah-sudah. Kalau semua keturunan raja hidup di Pulau Es dan hanya meninggalkan pulau kalau mereka ada keperluan di pulau-pulau kosong sekitar daerah itu untuk mengambil daun obat, sayur-sayuran atau berburu binatang, maka Pangeran Han Ti Ong tidak betah tinggal di tempat sunyi itu. Dia sering kali pergi dari pulau dan diam-diam dia melakukan perantauan di daratan! Dia adalah orang yang paling banyak mewarisi ilmu nenek moyangnya sehingga dia adalah orang terpandai di antara para keluarga raja di Pulau Es. Apalagi karena dengan kesukaannya merantau di daratan, dia dapat mengambil banyak ilmu-ilmu silat tinggi yang lain dari daratan sehingga kepandaiannya bertambah. Dan gara-gara perantauan Pangeran inilah maka nama Pulau Es menjadi makin terkenal dan nama Pangeran Han Ti Ong sendiri juga menggemparkan dunia kang-ouw sungguhpun dia jarang sekali memperkenalkan diri. Melihat bajunya yang terhias gambaran naga dan burung Hong itu saja sudah cukup bagi para tokoh kang-ouw untuk mengenal manusia sakti dari Pulau Es ini seperti peristiwa yang terjadi di Hutan Seribu Bunga ketika Pangeran ini menghadapi tujuh orang tokoh besar dunia kang-ouw.
Para pangeran yang sudah-sudah, selalu mengambil isteri dari keluarga kerajaan sendiri, yaitu saudara-saudara misan mereka sendiri. Hal ini adalah untuk jaga agar "darah" kerajaan tetap "aseli". Akan tetapi, berbeda dengan semua kebiasaan para pangeran, Han Ti Ong yang jatuh cinta kepada seorang dara puteri penghuni Pulau Es biasa, berkeru mengambil dara itu sebagai isterinya! Padahal biasanya, dara-dara yang berdarah "biasa" ini hanya diambil sebagai selir-selir oleh para pangeran dan raja. Akan tetapi, Pangeran Han Ti Ong tidak mau mengambil selir dan hanya mempunyai seorang isteri, yaitu anak nelayan yang menjadi pengikut keluarga raja, seorang dara biasa saja, namun yang sesungguhnya memiliki kecantikan yang mengatasi kecantikan para puteri raja!
Dari isteri tercinta ini, Pangeran Han Ti Ong mempunyai seorang puteri yang pada waktu itu berusia enam tahun, seorang anak perempuan yang mungil, cantik, keras hati seperti ayahnya dan gembira seperti ibunya. Anak ini diberi nama Han Swat Hong (Angin Salju) ini diambil oleh Pangeran Han Ti Ong untuk menamakan puterinya karena ketika puterinya terlahir, Pulau Es dilanda angin dan salju yang amat kuat!
Pada pagi hari itu Swat Hong, anak perempuan berusia enam tahun lebih itu, duduk bengong di tepi pantai Pulau Es. Dia sengaja memilih tempat sunyi yang agak tinggi ini untuk melihat jauh ke selatan, dan hatinya penuh rindu terhadap ayahnya yang sudah pergi selama tiga bulan itu.
"Hong-ji (Anak Hong)...."
Swat Hong menoleh dan melihat bahwa yang memanggil tadi adalah ibunya, dia lalu meloncat bangun, lari menghampiri ibunya, meloncat dan merangkul leher ibunya dan menangis.
Ibunya tertawa. "Aih-aihhhhh... anakku yang biasanya periang tertawa mengapa menangis? Mengapa bulan yang berseri gembira menjadi suram? Awan hitam apakah yang menghalangmya?"
"Ibu, kau... kau kejam!"
"Ihh! Ibumu kejam? Mungkin kalau sedang menyembelih ikan atau ayam. Akan tetapi ibumu tidak kejam terhadap manusia" Memang watak Liu Bwee, Ibu itu, atau isteri Pangeran Han Ti Ong adalah lincah gembira yang menurun pula kepada Swat Hong
"Ibu kejam, mengapa Ibu tidak berduka? Apakah Ibu tidak rindu kepada Ayah?"
Tiba-tiba muka wanita itu menjadi merah sekali dan tak terasa lagi dua titik air mata meloncat turun ke atas pipinya. Melihat ini, Swat Hong melorot turun dan bertepuk-tepuk tangan, "Hi-hi, Ibu menangis! Ibu juga rindu kepada Ayah? Hayoh, Ibu sangkal kalau berani!"
Memang watak anak-anak, begitu melihat orang lain berduka, dia sendiri lupa akan kedukaannya dan merasa terhibur! Ibunya berlutut, memeluk dan menciuminya, akan tetapi masih bercucuran air mata.
Swat Hong yang tadinya berbalik. menggoda ibunya yang dianggapnya rindu kepada ayahnya seperti juga dia tadi, kini menjadi terheran dan berkhawatir. "Ibu, mengapa Ibu berduka? Apa yang terjadi? Apakah diam-dia Ibu begitu merindukan Ayah dan menyembunyikannya saja?"
Liu Bwee memaksa diri tersenyum dan menghapus air matanya,, mengangguk-angguk sebagai jawaban karena masih sukar baginya untuk mengeluarkan suara tanpa terisak menangis.
Akan tetapi puterinya itu adalah seorang anak yang amat cerdik, maka tentu saja tidak dapat dibohonginya semudah itu. "Ibu ada apakah? Harap Ibu beritahu kepadaku, siapa yang menyusahkan hati ibu? Akan kuhajar dial" Swat Hong mengepal kedua tinjunya yang kecil seolah-olah orang yang menyusahkan hati ibunya sudah berada di situ dan akan dihantamnya.
Melihat sikap anaknya ini, hati Liu Bwee terharu sekali dan ingin dia menangis lagi, akan tetapi ditekannya perasaan harunya dan dia tertawa. "Aih, Hong-ji, kalau ada yang kurang ajar kepada Ibumu, apakah Ibumu tidak dapat menghajarnya sendiri?"
Swat Hong tertawa. "Memang aku tahu bahwa kepandaian Ibu juga hebat, biarpun tidak sehebat Ayah, akan tetapi tidak puas kalau aku tidak menghajar dengan kedua tanganku sendiri kepada orang yang menyusahkan hati Ibu."
"Anakku yang baik...!" Untuk. menekan harunya, Liu Bwee mengangkat tubuh anaknya, dipeluk, diciuminya kemudian dia membentak, Terbanglah!" dan melempar tubuh anak itu ke atas.
Swat Hong bersorak gembira. Itulah sebuah di antara permainan mereka. Dia senang sekali kalau di lempar ke udara oleh ibunya, terutama kalau ayahnya yang melakukanya karena lemparan ayahnya membuat tubuhnya "terbang" tinggi sekali. Namun kini lemparan ibunya cukup menggembirakan hatinya karena biarpun ibunya tidak sekuat ayahnya, lemparannya cukup membuat tubuhnya melambung tinggi melewati puncak pohon!
Ketika tubuhnya melayang turun, ibunya sudah siap menyambutnya, akan tetapi dasar anak nakal, dia menggunakan kesempatan ini untuk berlatih! Dia cepat membalikkan tubuh sehingga kedua kakinya di atas dan cepat dia menggunakan kedua tangannya untuk menyerang ibunya, mencengkeram ke arah ubun-ubun. Itulah jurus terakhir yang dilatihnya dari ayahnya yang seharusnya dilakukan dengan loncatan ke atas dan menyerang ubun-ubun kepala lawan, akan tetapi kini dilakukannya ketika dia melayang turun!
"Haiiittt...!!" Untuk memperingatkan ibunya, Swat Hong menjerit sebelum menyerang.
Tentu saja Liu Bwee tidak perlu diperingatkannya lagi. Semenjak menjadi isteri Pangeran Ban Ti Ong, wanita puteri nelayan yang tentu saja seperti semua penghuni Pulau Es telah memiliki dasar ilmu silat tinggi, telah digembieng oleh suaminya dengan ilmu-ilmu simpanan yang tinggi sehingga dia menjadi seorang yang sakti seperti semua keluarga kerajaan itu. Melihat kegembiraan puterinya, dia pun cepat mengeiak, dari samping dia menyambar kedua lengan anaknya dan dengan bentakan nyaring kembali tubuh anaknya dilemparkan ke atas!
Tubuh itu melayang tinggi dan tiba- tiba dari atas Swat Hong berteriak girang, "Heiii, Ibu... itu Ayah datang...!!"
Mendengar ini, Liu Bwee cepat lari ke pinggir tebing tinggi dan memandang ke laut. Wajahnya berseri-seri, jantungnya berdebar karena penuh rindu kepada suaminya. Benar saja. Tampak sebuah perahu dan dia mudah mengenal suaminya yang mendayung perahu itu dengan kekuatan dahsyat sehingga perahu kecil meluncur seperti seekor ikan hiu yang marah. Akan tetapi alis wanita ini berkerut ketika dia melihat dua orang lain di dalam perahu. Seorang anak laki-laki dan seorang wanita muda yang cantik! Hatinya terasa tidak enak. Dia tidak akan mengikat suaminya, dan sebagai seorang isteri pangeran calon raja tentu saja dia maklum bahwa suaminya berhak mengambil selir-selir sebanyaknya. Akan tetapi entah mengapa, kedatangan suaminya dengan due orang itu, terutama seorang wanita cantik, mendatangkan rasa gelisah yang aneh di dalam hatinya.
"Ibuuuu... tolong dulu aku..."
"Hemmm... berbahaya...." Han Ti Ong melepaskan Sin Liong dan menghela napas panjang sambil memandang bocah itu yang sudah berlutut di depannya.
"Locianpwe selain sakti dan budiman, juga cerdik sekali...." Sin Liong berkata memuji sambil memandang wajah Pangeran itu dengan penuh kagum.
Han Ti Ong mengerutkan alisnya. "Hemmm, mengapa kau mengatakan demikian, terutama apa artinya kau mengatakan aku cerdik?"
"Locianpwe mengalahkan mereka, berarti Locianpwe sakti sekali, Locianpwe mengampuni dan membiarkan mereka lolos, berarti Locianpwe budiman, dan Locianpwe tadi mencatat gerakan-gerakan mereka dan kemudian mengalahkan mereka dengan ilmu mereka sendiri yang Locianpwe catat berarti Locianpwe cedik sekali."
Wajah yang gagah itu berubah, mata tajam itu memandang heran dan kagum, kemudian dia berkata, "Wah, dalam kecerdikan, belum tentu kelak aku dapat melawanmu! Akal dan kecerdikan memang amat perlu untuk mempertahankan hidup di dunia yang penuh bahaya ini. Tahukah engkau bahwa tanpa menggunakan akal budi, memanaskan hati mereka dengan mengalahkan mereka dengan ilmu mereka sendiri, kalau mereka maju bersama mengeroyokku, belum tentu aku akan dapat menang! Sekarang kau sudah bebas dari bahaya, nah, aku pergi...!"
Melihat orang itu membalikkan tubuh dan melangkah pergi dari situ, Sin Liong memandang ke arah mayat sebelas orang dusun yang masih menggeletak di situ, maka dia berseru, "Locianpwe...."
Pangeran Han Ti Ong berhenti melangkah dan menoleh. Dia merasa heran sendiri. Tidak biasa baginya untuk mentaati perintah orang kecuali suara ayahnya, raja ke tiga dari Pulau Es. Akan tetapi, ada sesuatu dalam suara bocah itu yang membuat dia mau tidak mau menghentikan langkahnya, lalu menoleh dan bertanya, "Ada apa lagi?"
Dengan masih berlutut Sin Liong berkata, "Locianpwe, sudilah kiranya Locipwe menerima teecu sebagai murid.
Han Ti Ong kini memutar tubuh dan menghampiri anak yang masih berlutut itu.
"Bocah, siapa namamu?"
"Teecu she Kwa, bernama Sin Liong." Dengan ringkas Sin Liong lalu menuturkan tentang kematian ayah bundanya dan mengapa dia melarikan diri dan bersembunyi di hutan itu karena dia ngeri dan muak menyaksikan kekejaman manusia dan merasa mendapatkan tempat yang tenteram dan damai di tempat itu.
"Hemm, kau ingin menjadi muridku, hendak mempelajari apakah?"
"Mempelajari kebijaksanaan yang dimiliki Locianpwe, dan tentu saja mempelajari ilmu kesaktian."
"Kalau kau hanya ingin belajar silat, mengapa tadi kau menolak ketika para tokoh menawarkan kepadamu agar menjadi murid mereka? Mereka itu adalah tokoh-tokoh yang memiliki kesaktian hebat."
"Namun teecu masih melihat kekerasan di balik kepandaian mereka. Teecu kagum kepada Locianpwe bukan hanya karena ilmu kesaktian, terutama sekali karena sifat welas asih pada diri Locianpwe."
"Tapi kau hendak belajar silat, mau kaupakai untuk apa? Bukankah kau lebih dibutuhkan dan berguna berada di sini bagi penduduk sekitar Jeng-hoa-san?"
"Maaf Locianpwe. Tidak ada seujung rambut pun hati teecu untuk mempergunakan ilmu kesaktian dalam tindakan kekerasan. Dan tidak tepat pula Kalau kepandaian teecu di sini berguna bagi para penduduk. Buktinya, teecu hanya bisa mengobati orang sakit, itu pun kalau kebetulan jodoh, sedangkan sebelas orang ini, tertimpa bahaya maut sampai mati tanpa teecu dapat mencegahnya sama sekali. Andaikata teecu memiliki kepandaian seperti Locianpwe, apakah sebelas orang ini akan tewas secara demikian menyedihkan? Teecu kini melihat bahwa menolong orang tidak hanya mengandalkan ilmu pengobatan, juga untuk menyelamatkan sesama manusia dari tindasan orang kuat yang jahat, diperlukan kepandaian. Mohon Locianpwe sudi memenuhi permintaan teecu."
"Aku adalah seorang penghuni Pulau Es. Hidup di sana tidaklah mudah dan enak, tidak seperti di sini. Kau akan mengalami kesukaran, bahkan menderita di tempat yang dingin itu."
"Kesukaran apa pun akan teecu terima dengan hati rela, karena tiada hasil dapat dicapai tanpa jerih payah, Locianpwe."
Han Ti Ong tersenyum. Memang dia sudah tertarik sekali melihat bocah yang dijuluki Sin-tong ini. Bocah ini sama sekali tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri. Ingin belajar silat bukan sekali-kali untuk menjaga diri sendiri, melainkan untuk keselamatan orang lain yang lemah. Selain itu, pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa bocah ini memang benar-benar bocah ajaib, memiliki ketajaman otak dan pandangan yang luar biasa, juga memiliki darah dan tulang bersih, bakatnya malah jauh lebih besar daripada dia sendiri! Kalau tadinya dia tidak mau menerima bocah ini sebagai murid adalah karena dia merasa malu terhadap diri sendiri, karena kalau dia mengambil anak ini sebagai murid, lalu apa bedanya antara dia dengan tujuh orang yang dihalaunya pergi tadi? Akan tetapi, memang ada bedanya sekarang setelah Sin Liong sendiri yang mengajukan permohonan agar diterima menjadi muridnya.
"Kalau memang sudah bulat kehendakmu menjadi muridku, baiklah, Sin Liong. Mari kauikut bersamaku, akan tetapi jangan menyesal kelak. Hayo!" Han Ti Ong kembali membalikkan tubuhnya dan hendak melangkah pergi.
"Suhu, nanti dulu...!"
Pangeran itu mengerutkan alisnya. Lagi-lagi dia mendengar pengaruh yang luar biasa di balik suara anak itu yang memaksanya menoleh! Dengan suara kesal dia berkata, "Mau apa lagi??"
"Maaf, Suhu. Teecu mana bisa meinggalkan sebelas buah mayat itu di sini begini saja?"
"Habis, apa maumu?"
"Teecu harus mengubur mereka lebih dulu sebelum pergi."
"Kalau aku melarangmu?"
"Teecu tidak percaya bahwa Suhu akan sekejam itu, teecu yakin akan kebaikan budi Suhu. Akan tetapi andaikata Suhu behar melarang teecu, terpaksa teecu akan membangkang dan tetap akan mengubur mayat-mayat ini."
Sepasang mata pangeran itu terbelalak penuh keheranan. Anak berusia tujuh tahun sudah berani memiliki pendirian seperti batu karang kokohnya.
"Murid macam apa kau ini? Belum apa-apa sudah siap membangkang terhadap Guru!"
"Teecu menjadi murid bukan membuta, dan teecu ingin mempelajari ilmu yang baik. Kalau teecu mentaati saja perintah Suhu yang tidak benar, sama saja dengan teecu menyeret Suhu ke dalam kesesatan."
Mata Han Ti Ong makin terbelalak. Hampir dia marah, akan tetapi dia dapat melihat apa yang tersembunyi di balik ucapan yang kelihatan kurang ajar itu dan dia mengangguk-angguk. "Lakukanlah kehendakmu, aku menunggu."
"Terima kasih! Teecu memang tahu bahwa Suhu seorang sakti yang budiman!"
Dengan wajah berseri Sin Liong lalu menggali lubang. Akan tetapi karena dia hanya seorang anak kecil dan yang dipergunakan menggali hanyalah sebatang cangkul biasa yang kecil pemberian orang-orang dusun dan yang biasa dia pergunakan untuk menggali dan mencari akar obat, maka tentu saja menggali sebuah lubang untuk mengubur sebelas buah mayat bukan merupakan pekerjaan ringan dan mudah!
Mula-mula Han Ti Ong duduk di bawah pohon dan melirik ke arah murid nya itu yang bekerja keras. Disangkanya bahwa tentu bocah itu akan kelelahan dan akan beristirahat. Akan tetapi dia kecele. Sin Liong bekerja terus biarpun kaki tangannya sudah pegal-pegal semua dan keringat membasahi seluruh tubuh, menetes dari dahinya dan kadang-kadang diusapnya dengan lengan baju. Akan tetapi dia tidak pernah berhenti bekerja. Sudah setengah hari mencangkul, baru dapat membuat lubang yang hanya cukup untuk dua buah mayat saja. Kalau dilanjutkan, agaknya untuk dapat menggali lubang yang cukup untuk semua mayat, dia harus bekerja selama dua hari dua malam atau lebih!
"Hemm, hatinya lembut tapi kemauanya keras. Benar-benar bocah ajaib," Han Ti Ong mengomel sendiri dan dia lalu bangkit, dirampasnya cangkul dari tangan muridnya dan tanpa berkata apa-apa lagi dia lalu mencangkul. Gerakannya amat cepat sekali sehingga Sin Liong yang mundur dan menonton menjadi di kabur pandangan matanya karena seolah-olah tubuh gurunya berubah menjadi banyak, semuanya mencangkul dan sebentar saja telah terbuat sebuah lubang yang amat besar dan yang cukup untuk mengubur sebelas buah mayat itu. Tentu saja hati Sin Liong girang bukan main dan satu demi satu diangkat, atau lebih tepat diseretnya mayat-mayat itu, dimasukkan ke dalam lubang dan air matanya bercucuran.
Han Ti Ong membantu muridnya mengguruk atau menutup lubang itu sehingga di tempat itu, di depan gua tempat tinggal Sin Liong, terdapat sebuah kuburan yang besar sekali.
"Sudahlah, sudah mati ditangisipun tidak ada gunanya, Mari kita pergi!" Sin Liong merasa lengannya dipegang oleh gurunya dan di lain saat dia harus memejamkan matanya karena tubuhnya telah "terbang" dengan amat cepatnya meninggalkan Gunung Jeng-hoa-san, entah ke mana!
Akan tetapi setelah merasa terbiasa, Sin Liong berani juga membuka matanya dan dengan penuh kagum dia melihat bahwa dia di kempit oleh suhunya yang berlari cepat seperti angin saja. Dia mengenal pula tempat di mana suhunya melarikan diri yaitu ke sebelah timur Pegunungan Jeng-hoa-san. Tiba-tiba dia melihat sesuatu, juga hidungnya mencium sesuatu, maka dia cepat berseru, "Suhu, harap berhenti dulu!"
Han Ti Ong berhenti. "Ada apa?"
"Suhu, di sana itu..." Suara Sin Liong tergetar dan ketika Han Ti Ong menoleh, dia pun merasa jijik sekali. Yang ditunjuk oleh muridnya itu adalah sekumpulan mayat orang yang sudah membusuk, dua belas orang laki-aki yang sudah menjadi mayat rusak dan bekasnya menunjukkan bahwa mayat-mayat itu tentu telah diganggu oleh binatang-binatang buas sehingga berserakan ke sana-sini.
"Mau apa kau?" Han Ti Ong membentak.
"Suhu apakah kita harus mendiamkan saja mayat-mayat itu? Mereka adalah bekas-bekas manusia seperti kita juga. Kasihan kalau tidak diurus.
"Wah, kau memang gatal-gatal tangan! Nah, hendak kulihat apa yang akan kaulakukan terhadap mereka?" Han Ti Ong menurunkan Sin Liong dan dia sendiri lalu duduk di atas sebuah batu dari tempat agak jauh. Dia sungguh ingin tahu apa yang akan dilakukan muridnya itu terhadap mayat-mayat yang sudah demikian membusuk, bahkan dari tempat dia duduk pun tercium baunya yang hampir membuatnya muntah.
Dengan langkah lebar Sin Liong menghampiri mayat-mayat itu, sedikit pun tidak kelihatan jijik atau segan. Kemudian, diikuti pandang mata Han Ti Ong yang terheran-heran bocah itu mulai menggali tanah dengan hanya menggunakan sebatang pisau kecil, pisau yang biasanya dipergunakan untuk memotong-motong daun dan akar dan yang agaknya tak pernah terpisah dari saku bajunya. Anak itu hendak menggali lubang untuk mengubur dua belas buah mayat busuk itu hanya dengan menggunakan sebatang pisau kecil! Hampir saja Han Ti tertawa bergelak saking geli hatinya, juga saking girangnya mendapat kenyataan bahwa muridnya ini benar-benar seorang bocah ajaib yang mempunyai pribudi luhur dan wajar tanpa dibuat-buat! Dengan kagum dia meloncat bangun lari menghampiri muridnya yang telah menggali lubang beberapa sentimetar dalamnya.
"Cukup Sin Liong. Lubang itu sudah cukup lebih dari cukup untuk mengubur mereka."
"Ehhh...? Mana mungkin, Suhu..?"
"Ha, kau masih meragukan kelihaian Suhumu? Lihat baik-baik!" Han Ti Ong lalu mengeluarkan sebuah botol dari saku jubahnya, menggunakan ujung sepatunya mencongkel mayat-mayat itu menjadi setumpukan barang busuk, dan dia menuangkan benda cair berwarna kuning cari dalam botol ke atas tumpukan mayat. Tampak uap mengepul dan tumpukan mayat itu mencair, dalam sekejap mata saja lenyaplah tumpukan mayat itu karena sepiua, berikut tulang-tulangnya, telah mencair dan cairan itu mengalir ke dalam lubang yang tadi digali Sin Liong. Benar saja, cairan itu memasuki lubang dan meresap ke tanah, tentu saja lubang itu sudah lebih dari cukup untuk menampung cairan itu.
Dengan mata terbelajak penuh kagum, Sin Liong lain menguruk lagi lubang itu dan berlutut di depan kaki suhunya, "Suhu tenma kasih atas bantuan Suhu. Suhu sungguh sakti dan budiman."
"Aahhh,..!" Muka Han Ti Ong menjadi merah dan dia mengeluarkan seruan itu untuk menutupi rasa malunya. Mana bisa dia disebut budiman kalau mengubur mayat-mayat itu bukan terjadi atas kehendaknya, melainkan dia "terpaksa" oleh muridnya?
"Kalau aku tidak salah lihat, mereka ini adalah pendekar-pendekar gagah. Sungguh kematian yang menyedihkan dan entah siapa yang dapat membunuh mereka. Mereka kelihatan bukan orang-orang sembarangan yang mudah dibunuh. Mari kita pergi, Sin Liong!" Kembali murid itu dikempitnya dan pangeran sakti itu menggunakan ilmu berlan cepat seperti tadi, melanjutkan perjalanan ke timur menuruni Pegunungan Jeng-hoa-san.
Tak lama kemudian, kembali Sin Liong yang dikempit (dijepit di bawah tangan) berseru, "Haiiii Suhu, harap berhenti dulu...!"
Han Ti Ong menjadi gemas. Akan tetapi dia berhenti juga menurunkan bocah itu dari kempitan di bawah ketiaknya. "Mau apa lagi kau? Awas, kalau tidak penting sekali, aku akan marah!"
"Lihat di sana itu, Suhu. Tidak patutkah kita menolong orang yang sengsara itu? Siapa tahu dia juga sudah mati di sana...." Tanpa menanti jawaban suhunya, Sin Liong sudah lari menghampiri sesosok tubuh yang menggelatak di bawah pohon tak jauh dari situ. Tubuh itu tidak bergerak-gerak, akan tetapi dari tempat ia berdiri, Han Ti Ong mengerti bahwa orang itu belum tewas, agaknya pingsan atau tertidur saja.
Dia tersenyum dan melihat muridnya sudah menjatuhkan diri berlutut di depan orang itu. Betapa kagetnya ketika dia mendengar teriakan muridnya, "Eihh, Suhu! Dia, seorang wanital"
Hah Ti Ong terheran. Dia lalu meloncat ke arah muridnya dan melihat betapa tiba-tiba orang yang disangkanya pingsan itu sudah meloncat bangun dan langsung memukul kepala Sin Liong dengan kekuatan dahsyat.
"Wuuuuttt... plakkkk! Augghhh...!!" Wanita yang mukanya kotor matanya merah dan rambutnya awut-awutan itu menjerit ketika pukulannya tertangkis oleh lengan Han Ti Ong yang amat kuat. Dia terhuyung ke belakang, sejenak memandang Han Ti Ong dan Sin Liong, kemudian menangis tersedu-sedu dan bergulingan di atas tanah, menangis seperti seorang anak kecil.
"Jangan... aughhh, jangan... lepaskan aku... lepaskan...! Jangan bunuh mereka...!
Sin Liong tertegun dan memandang penuh kasihan. Juga Han Ti Ong memandang dengan terharu, maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang berotak miring!
Toanio (Nyonya), kau kenapakah...? Sin Liong melangkah ke depan.
Tiba-tiba wanita itu meloncat bangun Han Ti Ong sudah siap melindungi muridnya yang sama sekali tidak kelihatan takut itu. Akan tetapi wanita itu lalu tiba-tiba tertawa terkekeh. "Hi-hi-hi-hikkk!" Aneh sekali, Ketika wanita itu tertawa, Han Ti Ong melihat wajah yang amat cantik manis! Wanita itu adalah seorang gadis muda yang amat cantik, akan tetapi yang entah mengapa telah menjadi gila. Pakaian yang dipakainya adalah pakaian pria yang terlalu besar, rambutnya yang hitam panjang itu riap-riapan tidak diurus, mukanya kotor terkena debu dan air mata, matanya merah dan membengkak.
"Hi-hi-hik, kubunuh engkau, Pat-jiu Kai-ong, aku bersumpah akan membunuhmu untuk membalas kematian dua belas orang Suhengku!" Kemudian dia menangis lagi. "Hu-hu-huuuuh... Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai habis terbasmi...."
Han Ti Ong terkejut dan teringatlah dia akan nama Tiga Belas orang Pendekar Bu-tong-pai yang amat terkenal sebagai tiga belas orang pendekar gagah perkasa pembela keadilan dan kebenaran, teringat pula bahwa mereka terdiri dari dua belas pria dan seorang wanita, kalau tidak salah, saudara termuda.
"Nona, apakah engkau orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai?" tanyanya sambil melangkah maju menghampiri wanita gila itu.
"Jangan sentuh aku! Manusia terkutuk, jangan sentuh aku lagi!" Dan tiba-tiba wanita itu menyerang dengan hebatnya. Han Ti Ong menangkis dan menotok, Robohlah wanita itu, roboh dalam keadaan lemas tak dapat bergerak lagi.
"Suhu, mengapa...?" Sin Liong bertanya penasaran.
"Bodoh, kalau tidak kutotok, tentu dia akan mengamuk terus. Coba kauperiksa dia, apakah kau bisa mengobatinya?"
Sin Liong berlutut dan melihat wanita itu hanya melotot tanpa mampu bergerak. Setelah memeriksa sebentar, dia menarik napas panjang, "Suhu, dia terkena pukulan batin yang amat berat, membuat dia menjadi begini, berubah ingatannya. Kalau kita berada di Jeng-hoa-san, kiranya dapat teecu mencarikan daun penenang untuk mengobatinya."
"Hemm, kaulihatlah Gurumu mencoba untuk mengobatinya" Han Ti Ong mengeluarkan sebatang jarum emas dari sakunya, setelah membersihkan ujungnya dia lalu menghapiri wanita itu dan menusukkan jarum emasnya di tiga tempat, di tengkuk kanan kiri dan ubun-ubun! Sin Liong memandang dengan mata terbelalak. Dia sudah mendengar dari ayahnya tentang kepandaian orang mengobati dengan tusukan jarum, akan tetapi sekarang dia menyaksikannya, Dan wanita itu baru mengeluh lalu tertidur dengan pernapasan yang panjang dan tenang. Ketika gurunya mencabut jarum dan meyimpannya, gurunya berkata, "Coba kau periksa lagi matanya, apakah sudah ada perubahan?"
Sin Liong membuka pelupuk mata dan melihat bahwa mata wanita itu yang tadinya mengeluarkan sinar aneh yang liar, kini telah normal kembali. Dia cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan Suhunya. "Suhu, teecu seperti buta, tidak tahu bahwa Suhu adalah seorang ahli pengobatan pula."
"Hemm, dalam hal mengenal tetumbuhan obat, mana aku mampu menandingimu? Akan tetapi aku mempunyai kepandaian menusuk jarum, kepandaian turunan yang tentu kelak akan kuajarkan kepadamu."
"Suhu, teecu mengajukan sebuah permohonan, harap Suhu tidak keberatan."
"Hemm, apa lagi?"
"Harap Suhu suka menolong wanita malang ini, dan membiarkan dia ikut dengan kita."
"Kau... kau gila.,.?"
"Suhu, dia belum sembuh benar. Kalau.... dia dibiarkan di sini, lalu datang orang jahat, bagaimana?"
"Ha, kau tidak usah khawatir. Dia adalah orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap ilmu kepandaiannya tinggi. Siapa berani mengganggunya?"
"Buktinya, dua belas orang suhengnya tewas dan tentu mereka itu adalah mayat-mayat yang tadi kita kubur. Agaknya yang membunuh adalah Pat-jiu Kai-ong. Selain itu, kalau dia teringat akan peristiwa itu sebelum sembuh benar, tentu dia akan kumat gilanya dan apakah Suhu rega membiarkan dia seperti itu?"
Han Ti Ong memandang wajah wanita yang bukan lain adalah The Kwat Lin itu. Dia terheran sendiri mengapa wajah yang kotor dan rambut yang kusut itu mendatangkan rasa iba yang luar biasa di hatinya? Mengapa dia merasa tertarik dan ingin sekali menolong wanita muda ini? Apakah dia sudah "ketularan" watak muridnya, ataukah... ataukah...? Dia tidak berani membayangkan. Selama ini hanya isterinya seoranglah wanita yang menarik hatinya, yang membangkitkan gairahnya, akan tetapi perempuan gila ini... entah mengapa, telah membuat dia tertarik dan kasihan sekali.
"Sudahlah, kau memang cerewet, dan kalau tidak kuturuti, tentu kau rewel terus. Biar kita membawa bersama ke Pulau Es, kita lihat saja nanti bagaimana perkembangannya." Ucapan terakhir ini seperti ditujukan kepada hatinya sendiri! Teeeu tahu, Suhu adalah seorang yang budiman."
Dengan hati mengkal karena ucapan muridnya itu seperti ejekan kepadanya karena dia mau menolong dara ini sama sekali bukan karena dia budiman, melainkan karena dia kasihan dan terutama sekali... tertarik hatinya, dengan kasar dia lalu mengempit tubuh wanita itu di bawah ketiak kanannya, dan menyambar tubuh Sin Liong di bawah ketiak kirinya dan larilah Pangeran yang sakti ini secepat terbang menuju ke pantai lautan.
***
Siapakah sebetulnya manusia sakti yang ditakuti oleh tujuh orang tokoh kang-ouw itu? Siapakah Pangeran Han Ti Ong yang pada bagian dada bajunya terdapat lukisan burung Hong dan seekor Naga emas itu?
Dia adalah pangeran dari Pulau Es. Pulau ini merupakan pulau rahasia yang hanya dikenal orang kang-ouw seperti dalam dongeng karena tidak pernah ada orang yang berhasil menemukan pulau itu, kecuali beberapa orang nelayan yang perahunya diserang badai dan mereka ini ditolong oleh manusia-manusia sakti, manusia yang menjadi penghuni Pulau Es, sebuah pulau dari es di mana terdapat istana indah dan merupakan sebuah kerajaan kecil penuh dengan orang sakti. Setelah ditolong dan diselamatkan, dan berhasil kembali ke daratan, para nelayan inilah yang membuat cerita seperti dongeng itu sehingga nama sebutan Pulau Es terkenal di dunia kang-ouw.
Kerajaan di Pulau Es itu dibangun oleh seorang pangeran, ratusan tahun yang lalu. Seorang pangeran yang amat sakti, seorang pangeran yang dianggap pemberontak karena berani menentang kehendak kaiser, dan pangeran ini bersama keluarganya menjadi pelarian. Dengan kesaktiannya, dia berhasil melarikan keluarganya ke pantai timur dan menggunakan sebuah perahu untuk mencari tempat baru. Tujuannya adalah ke pulau di timur di mana dahulu sudah banyak orang-orang pandai dari daratan yang melarikan diri dan menjadi buronan karena berani menentang pemerintah, yaitu Kepulauan Jepang! Akan tetapi dia tersesat jalan, perahunya dilanda badai hebat dan perahunya dibawa jauh ke utara sampai kemudian perahu itu mendarat sebuah pulau. Pulau Es! Melihat pulau ini tersembunyi, baik sekali dijadikan tempat persembunyiannya, dan di sekitar situ terdapat pulau-pulau lain yang tanahnya cukup subur, maka pangeran pelarian ini mengambil keputusan untuk menjadikan Pulau Es sebagai tempat tinggalnya. Dia lalu mengumpulkan orang-orang yang setia kepadanya, membawa mereka ke Pulau Es menjadi pengikut-pengikutnya. Dibangunnya sebuah? istana yang kecil namun indah di pulau itu dan berdirilah sebuah kerajaan kecil di tempat terasing ini!
Berkat kebijaksanaan Raja Pulau Es ini, para pengikutnya dan keluarga raja hidup aman tenteram dan penuh kebahagiaan di Pulau Es. Para keluarganya hidup rukun dan para pengikutnya membentuk keluarga-keluarga sehingga penghuni pulau itu berkembang biak. Karena kesaktian rajanya, dan karena letak pulau itu yang sukar dikunjungi orang luar, maka kerajaan kecil ini tidak pernah terganggu. Raja itu mewariakan kepandaiannya kepada keturunannya, merupakan ilmu-ilmu warisan yang hebat, dan tentu saja para pengikut mereka mendapat pula pelajaran ilmu yang tinggi.
Pangeran Han Ti Ong adalah keturunan ke empat dari paja pertama di Pulau Es. Pangeran ini berbeda dengan keturunan raja yang sudah-sudah. Kalau semua keturunan raja hidup di Pulau Es dan hanya meninggalkan pulau kalau mereka ada keperluan di pulau-pulau kosong sekitar daerah itu untuk mengambil daun obat, sayur-sayuran atau berburu binatang, maka Pangeran Han Ti Ong tidak betah tinggal di tempat sunyi itu. Dia sering kali pergi dari pulau dan diam-diam dia melakukan perantauan di daratan! Dia adalah orang yang paling banyak mewarisi ilmu nenek moyangnya sehingga dia adalah orang terpandai di antara para keluarga raja di Pulau Es. Apalagi karena dengan kesukaannya merantau di daratan, dia dapat mengambil banyak ilmu-ilmu silat tinggi yang lain dari daratan sehingga kepandaiannya bertambah. Dan gara-gara perantauan Pangeran inilah maka nama Pulau Es menjadi makin terkenal dan nama Pangeran Han Ti Ong sendiri juga menggemparkan dunia kang-ouw sungguhpun dia jarang sekali memperkenalkan diri. Melihat bajunya yang terhias gambaran naga dan burung Hong itu saja sudah cukup bagi para tokoh kang-ouw untuk mengenal manusia sakti dari Pulau Es ini seperti peristiwa yang terjadi di Hutan Seribu Bunga ketika Pangeran ini menghadapi tujuh orang tokoh besar dunia kang-ouw.
Para pangeran yang sudah-sudah, selalu mengambil isteri dari keluarga kerajaan sendiri, yaitu saudara-saudara misan mereka sendiri. Hal ini adalah untuk jaga agar "darah" kerajaan tetap "aseli". Akan tetapi, berbeda dengan semua kebiasaan para pangeran, Han Ti Ong yang jatuh cinta kepada seorang dara puteri penghuni Pulau Es biasa, berkeru mengambil dara itu sebagai isterinya! Padahal biasanya, dara-dara yang berdarah "biasa" ini hanya diambil sebagai selir-selir oleh para pangeran dan raja. Akan tetapi, Pangeran Han Ti Ong tidak mau mengambil selir dan hanya mempunyai seorang isteri, yaitu anak nelayan yang menjadi pengikut keluarga raja, seorang dara biasa saja, namun yang sesungguhnya memiliki kecantikan yang mengatasi kecantikan para puteri raja!
Dari isteri tercinta ini, Pangeran Han Ti Ong mempunyai seorang puteri yang pada waktu itu berusia enam tahun, seorang anak perempuan yang mungil, cantik, keras hati seperti ayahnya dan gembira seperti ibunya. Anak ini diberi nama Han Swat Hong (Angin Salju) ini diambil oleh Pangeran Han Ti Ong untuk menamakan puterinya karena ketika puterinya terlahir, Pulau Es dilanda angin dan salju yang amat kuat!
Pada pagi hari itu Swat Hong, anak perempuan berusia enam tahun lebih itu, duduk bengong di tepi pantai Pulau Es. Dia sengaja memilih tempat sunyi yang agak tinggi ini untuk melihat jauh ke selatan, dan hatinya penuh rindu terhadap ayahnya yang sudah pergi selama tiga bulan itu.
"Hong-ji (Anak Hong)...."
Swat Hong menoleh dan melihat bahwa yang memanggil tadi adalah ibunya, dia lalu meloncat bangun, lari menghampiri ibunya, meloncat dan merangkul leher ibunya dan menangis.
Ibunya tertawa. "Aih-aihhhhh... anakku yang biasanya periang tertawa mengapa menangis? Mengapa bulan yang berseri gembira menjadi suram? Awan hitam apakah yang menghalangmya?"
"Ibu, kau... kau kejam!"
"Ihh! Ibumu kejam? Mungkin kalau sedang menyembelih ikan atau ayam. Akan tetapi ibumu tidak kejam terhadap manusia" Memang watak Liu Bwee, Ibu itu, atau isteri Pangeran Han Ti Ong adalah lincah gembira yang menurun pula kepada Swat Hong
"Ibu kejam, mengapa Ibu tidak berduka? Apakah Ibu tidak rindu kepada Ayah?"
Tiba-tiba muka wanita itu menjadi merah sekali dan tak terasa lagi dua titik air mata meloncat turun ke atas pipinya. Melihat ini, Swat Hong melorot turun dan bertepuk-tepuk tangan, "Hi-hi, Ibu menangis! Ibu juga rindu kepada Ayah? Hayoh, Ibu sangkal kalau berani!"
Memang watak anak-anak, begitu melihat orang lain berduka, dia sendiri lupa akan kedukaannya dan merasa terhibur! Ibunya berlutut, memeluk dan menciuminya, akan tetapi masih bercucuran air mata.
Swat Hong yang tadinya berbalik. menggoda ibunya yang dianggapnya rindu kepada ayahnya seperti juga dia tadi, kini menjadi terheran dan berkhawatir. "Ibu, mengapa Ibu berduka? Apa yang terjadi? Apakah diam-dia Ibu begitu merindukan Ayah dan menyembunyikannya saja?"
Liu Bwee memaksa diri tersenyum dan menghapus air matanya,, mengangguk-angguk sebagai jawaban karena masih sukar baginya untuk mengeluarkan suara tanpa terisak menangis.
Akan tetapi puterinya itu adalah seorang anak yang amat cerdik, maka tentu saja tidak dapat dibohonginya semudah itu. "Ibu ada apakah? Harap Ibu beritahu kepadaku, siapa yang menyusahkan hati ibu? Akan kuhajar dial" Swat Hong mengepal kedua tinjunya yang kecil seolah-olah orang yang menyusahkan hati ibunya sudah berada di situ dan akan dihantamnya.
Melihat sikap anaknya ini, hati Liu Bwee terharu sekali dan ingin dia menangis lagi, akan tetapi ditekannya perasaan harunya dan dia tertawa. "Aih, Hong-ji, kalau ada yang kurang ajar kepada Ibumu, apakah Ibumu tidak dapat menghajarnya sendiri?"
Swat Hong tertawa. "Memang aku tahu bahwa kepandaian Ibu juga hebat, biarpun tidak sehebat Ayah, akan tetapi tidak puas kalau aku tidak menghajar dengan kedua tanganku sendiri kepada orang yang menyusahkan hati Ibu."
"Anakku yang baik...!" Untuk. menekan harunya, Liu Bwee mengangkat tubuh anaknya, dipeluk, diciuminya kemudian dia membentak, Terbanglah!" dan melempar tubuh anak itu ke atas.
Swat Hong bersorak gembira. Itulah sebuah di antara permainan mereka. Dia senang sekali kalau di lempar ke udara oleh ibunya, terutama kalau ayahnya yang melakukanya karena lemparan ayahnya membuat tubuhnya "terbang" tinggi sekali. Namun kini lemparan ibunya cukup menggembirakan hatinya karena biarpun ibunya tidak sekuat ayahnya, lemparannya cukup membuat tubuhnya melambung tinggi melewati puncak pohon!
Ketika tubuhnya melayang turun, ibunya sudah siap menyambutnya, akan tetapi dasar anak nakal, dia menggunakan kesempatan ini untuk berlatih! Dia cepat membalikkan tubuh sehingga kedua kakinya di atas dan cepat dia menggunakan kedua tangannya untuk menyerang ibunya, mencengkeram ke arah ubun-ubun. Itulah jurus terakhir yang dilatihnya dari ayahnya yang seharusnya dilakukan dengan loncatan ke atas dan menyerang ubun-ubun kepala lawan, akan tetapi kini dilakukannya ketika dia melayang turun!
"Haiiittt...!!" Untuk memperingatkan ibunya, Swat Hong menjerit sebelum menyerang.
Tentu saja Liu Bwee tidak perlu diperingatkannya lagi. Semenjak menjadi isteri Pangeran Ban Ti Ong, wanita puteri nelayan yang tentu saja seperti semua penghuni Pulau Es telah memiliki dasar ilmu silat tinggi, telah digembieng oleh suaminya dengan ilmu-ilmu simpanan yang tinggi sehingga dia menjadi seorang yang sakti seperti semua keluarga kerajaan itu. Melihat kegembiraan puterinya, dia pun cepat mengeiak, dari samping dia menyambar kedua lengan anaknya dan dengan bentakan nyaring kembali tubuh anaknya dilemparkan ke atas!
Tubuh itu melayang tinggi dan tiba- tiba dari atas Swat Hong berteriak girang, "Heiii, Ibu... itu Ayah datang...!!"
Mendengar ini, Liu Bwee cepat lari ke pinggir tebing tinggi dan memandang ke laut. Wajahnya berseri-seri, jantungnya berdebar karena penuh rindu kepada suaminya. Benar saja. Tampak sebuah perahu dan dia mudah mengenal suaminya yang mendayung perahu itu dengan kekuatan dahsyat sehingga perahu kecil meluncur seperti seekor ikan hiu yang marah. Akan tetapi alis wanita ini berkerut ketika dia melihat dua orang lain di dalam perahu. Seorang anak laki-laki dan seorang wanita muda yang cantik! Hatinya terasa tidak enak. Dia tidak akan mengikat suaminya, dan sebagai seorang isteri pangeran calon raja tentu saja dia maklum bahwa suaminya berhak mengambil selir-selir sebanyaknya. Akan tetapi entah mengapa, kedatangan suaminya dengan due orang itu, terutama seorang wanita cantik, mendatangkan rasa gelisah yang aneh di dalam hatinya.
"Ibuuuu... tolong dulu aku..."
(lop)