Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 10 Bagian 7
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Suling Emas
"Nona, mengapa kaulakukan semua ini...?" Akhirnya ia bertanya, memandang tajam.
"Lakukan apa?" Lu Sian sambil memperlihatkan senyumnya yang membuat darah diseluruh tubuh Kam Si Ek bergelora.
"Melakukan semua untuk menolongku? Mengapa kau seperti tidak mempedulikan keselamatanmu sendiri hanya... hanya untuk menolong orang seperti aku?"
Sejenak mereka saling pandang dan tanpa sengaja, kini mereka saling mendekat, tinggal sejengkal saja jarak antara hidung mereka. Akhirnya Lu Sian menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali, akan tetapi suaranya terdengar merdu dan jelas. "Karena...... karena aku cinta kepadamu!"
Hampir saja Kam Si Ek terjengkang ke dalam air kalau saja Lu Sian tidak cepat-cepat memegang lengannya dan menariknya, "Kau... kenapa...?" Gadis itu bertanya kaget. "Ah..... Lui Lu Sian.... Kau membikin aku hampir mati kaget...!" Kam Si Ek memang amat kaget, kaget dan girang. Siapa yang takkan kaget mendengar seorang gadis remaja yang demikian cantik jelita, yang dahulu telah merobohkan hatinya, kini tiba-tiba mengaku cinta secara terang-terangan? "Lu Sian... mungkin... mungkinkah ini..." ia lalu merangkul.
"Mengapa tidak mungkin? Ketika kau muncul dahulu itu... menangkis pedangku, lalu bilang bahwa hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya kau menangkan aku... nah, sejak itu aku tak dapat melupakanmu..."
"Aduh, kau adikku yang nakal... adikku yang manis..." Dalam kegirangan yang meluap-luap Kam Si Ek lalu mendekap kepala gadis itu dan menciumnya. Keduanya yang selama hidupnya baru kali ini mengalami hal seperti itu, merasa seakan-akan lemas seluruh syaraf di tubuh, membuat mereka tak dapat berdiri tegak, dan tergulinglah mereka ke dalam air, masih berpelukan dan berciuman! Dalam keadaan seperti itu untung sebelum mereka bangkit, mereka melihat bayangan Ban-pi Lo-cia berkelebat di pinggir danau dan berdiri tak jauh dari rumpun alang-alang! Tentu saja mereka tidak berani berkutik, dengan saling rangkul mereka memaksa diri berendam di dalam air, menahan napas!
Setelah bayangan itu lenyap lagi, baru mereka berani muncul dalam keadaan saling rangkul dan terengah-engah, kemudian tertawa-tawa karena keadaan itu mereka anggap lucu. Tiba-tiba mereka berhenti tertawa, masih saling peluk dan saling pandang dengan sinar mata penuh kasih sayang. Lama mereka saling pandang tanpa kata-kata, kemudian terdengar Kam Si Ek berkata lirih, "Moi-moi, terima kasih atas budi dan cintamu, percayalah, semenjak aku melihatmu dahulu, aku sudah jatuh cinta kepadamu, hanya aku... aku tahu diri, seorang seperti aku mana mungkin mengharapkan seorang dewi puteri Beng-kauwcu?"
Lu Sian mencubit lengan pemuda itu. "Kau seorang Jenderal! Dan aku... aku hanya wanita biasa, bagaimana kau bisa bilang begitu?" Ia lalu menyandarkan mukanya pada dada yang bidang dan basah itu, sedangkan Kam Si Ek dengan penuh kebahagiaan mendekap kepala kekasihnya itu menggigil kedinginan. Memang tadi di dalam air sudah amat dingin, kini setelah separuh tubuh berada dipermukaan air dan tertiup angin malam, dinginnya makin menghebat.
"Ah, kau kedinginan! Mari kita keluar dari sini!" katanya
"Hemm, kukira kau akan mengajakku menjadi sepasang kura-kura disini." Lu Sian menggoda. Mereka tertawa dan kembali Kam Si Ek merasa kagum terhadap kekasihnya ini. Jelas bahwa Lu Sian ini memiliki watak yang bebas, lincah dan jenaka sekali. Tidak biasa ia menghadapi watak seperti ini dan karenanya ia merasa amat gembira dan heran.
Mereka lalu meloncat ke darat. "Kita kembali ke Sungai Kuning, bukankah perahu yang membawamu masih berada di sana?"
"Ah, malah kembali ke perahu?" "Tentu saja. Perahu itulah tempat satu-satunya yang tidak akan disangka oleh dua orang kakek itu. Mereka tentu mengira kita mengambil jalan darat, untuk kembali ke bentengmu atau ke selatan."
Kam Si Ek mengangguk. Cerdik benar kekasihnya ini dan ia makin bangga serta gembira. Mereka lalu sedapat mungkin memeras air dari pakaian yang mereka pakai, kemudian berlari-lari mengambil jalan yang gelap menuju ke Sungai Kuning di utara. Di tengah jalan, Lu Sian mengeluarkan jarum dan benang yang selalu dibawanya dalam saku, dan sambil berjalan ia menjahit bajunya yang robek. Mereka melakukan perjalanan tanpa bicara karena kuatir kalau-kalau suara mereka akan terdengar orang, hanya genggaman jari-jari tangan mereka yang bicara banyak, menggetarkan perasaan hati masing-masing. Kadang-kadang Kam Si Ek tak dapat menahan hatinya dan ia memeluk Lu Sian, beberapa lama mereka berdekapan dan berbisik-bisik di dekat telinga masing-masing. (Bersambung)
"Nona, mengapa kaulakukan semua ini...?" Akhirnya ia bertanya, memandang tajam.
"Lakukan apa?" Lu Sian sambil memperlihatkan senyumnya yang membuat darah diseluruh tubuh Kam Si Ek bergelora.
"Melakukan semua untuk menolongku? Mengapa kau seperti tidak mempedulikan keselamatanmu sendiri hanya... hanya untuk menolong orang seperti aku?"
Sejenak mereka saling pandang dan tanpa sengaja, kini mereka saling mendekat, tinggal sejengkal saja jarak antara hidung mereka. Akhirnya Lu Sian menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali, akan tetapi suaranya terdengar merdu dan jelas. "Karena...... karena aku cinta kepadamu!"
Hampir saja Kam Si Ek terjengkang ke dalam air kalau saja Lu Sian tidak cepat-cepat memegang lengannya dan menariknya, "Kau... kenapa...?" Gadis itu bertanya kaget. "Ah..... Lui Lu Sian.... Kau membikin aku hampir mati kaget...!" Kam Si Ek memang amat kaget, kaget dan girang. Siapa yang takkan kaget mendengar seorang gadis remaja yang demikian cantik jelita, yang dahulu telah merobohkan hatinya, kini tiba-tiba mengaku cinta secara terang-terangan? "Lu Sian... mungkin... mungkinkah ini..." ia lalu merangkul.
"Mengapa tidak mungkin? Ketika kau muncul dahulu itu... menangkis pedangku, lalu bilang bahwa hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya kau menangkan aku... nah, sejak itu aku tak dapat melupakanmu..."
"Aduh, kau adikku yang nakal... adikku yang manis..." Dalam kegirangan yang meluap-luap Kam Si Ek lalu mendekap kepala gadis itu dan menciumnya. Keduanya yang selama hidupnya baru kali ini mengalami hal seperti itu, merasa seakan-akan lemas seluruh syaraf di tubuh, membuat mereka tak dapat berdiri tegak, dan tergulinglah mereka ke dalam air, masih berpelukan dan berciuman! Dalam keadaan seperti itu untung sebelum mereka bangkit, mereka melihat bayangan Ban-pi Lo-cia berkelebat di pinggir danau dan berdiri tak jauh dari rumpun alang-alang! Tentu saja mereka tidak berani berkutik, dengan saling rangkul mereka memaksa diri berendam di dalam air, menahan napas!
Setelah bayangan itu lenyap lagi, baru mereka berani muncul dalam keadaan saling rangkul dan terengah-engah, kemudian tertawa-tawa karena keadaan itu mereka anggap lucu. Tiba-tiba mereka berhenti tertawa, masih saling peluk dan saling pandang dengan sinar mata penuh kasih sayang. Lama mereka saling pandang tanpa kata-kata, kemudian terdengar Kam Si Ek berkata lirih, "Moi-moi, terima kasih atas budi dan cintamu, percayalah, semenjak aku melihatmu dahulu, aku sudah jatuh cinta kepadamu, hanya aku... aku tahu diri, seorang seperti aku mana mungkin mengharapkan seorang dewi puteri Beng-kauwcu?"
Lu Sian mencubit lengan pemuda itu. "Kau seorang Jenderal! Dan aku... aku hanya wanita biasa, bagaimana kau bisa bilang begitu?" Ia lalu menyandarkan mukanya pada dada yang bidang dan basah itu, sedangkan Kam Si Ek dengan penuh kebahagiaan mendekap kepala kekasihnya itu menggigil kedinginan. Memang tadi di dalam air sudah amat dingin, kini setelah separuh tubuh berada dipermukaan air dan tertiup angin malam, dinginnya makin menghebat.
"Ah, kau kedinginan! Mari kita keluar dari sini!" katanya
"Hemm, kukira kau akan mengajakku menjadi sepasang kura-kura disini." Lu Sian menggoda. Mereka tertawa dan kembali Kam Si Ek merasa kagum terhadap kekasihnya ini. Jelas bahwa Lu Sian ini memiliki watak yang bebas, lincah dan jenaka sekali. Tidak biasa ia menghadapi watak seperti ini dan karenanya ia merasa amat gembira dan heran.
Mereka lalu meloncat ke darat. "Kita kembali ke Sungai Kuning, bukankah perahu yang membawamu masih berada di sana?"
"Ah, malah kembali ke perahu?" "Tentu saja. Perahu itulah tempat satu-satunya yang tidak akan disangka oleh dua orang kakek itu. Mereka tentu mengira kita mengambil jalan darat, untuk kembali ke bentengmu atau ke selatan."
Kam Si Ek mengangguk. Cerdik benar kekasihnya ini dan ia makin bangga serta gembira. Mereka lalu sedapat mungkin memeras air dari pakaian yang mereka pakai, kemudian berlari-lari mengambil jalan yang gelap menuju ke Sungai Kuning di utara. Di tengah jalan, Lu Sian mengeluarkan jarum dan benang yang selalu dibawanya dalam saku, dan sambil berjalan ia menjahit bajunya yang robek. Mereka melakukan perjalanan tanpa bicara karena kuatir kalau-kalau suara mereka akan terdengar orang, hanya genggaman jari-jari tangan mereka yang bicara banyak, menggetarkan perasaan hati masing-masing. Kadang-kadang Kam Si Ek tak dapat menahan hatinya dan ia memeluk Lu Sian, beberapa lama mereka berdekapan dan berbisik-bisik di dekat telinga masing-masing. (Bersambung)
(dwi)