Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jilid 15 Bagian 9

Sabtu, 25 Maret 2017 - 18:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo : Bukek...
Bukek Siansu, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo : Bukek Siansu

Demikianlah maka pada pagi hari itu, lima orang kaki tangan An Lu Shan ini telah berada di tepi Rawa Bangkai. Mereka memandang ke arah pulau di tengah-tengah rawa yang tampak dari tempat itu dalam jarak yang cukup jauh dan mereka memandang permukaan rawa dengan wajah membayangkan kengerian. Sudah banyak mereka mendengar akan bahayanya melintasi rawa itu.

"Saya hanya baru satu kali mengunjungi tempat ini bersama Subo," terdengar Swi Nio menerangkan ketika dia ditanya oleh teman-temannya, "dan ketika itu kami mengikuti Kiam-mo Cai-li yang membawa kami berlompatan dari tempat ini ke pulau itu. Setiap lompatannya membawanya ke tanah keras dan aman, akan tetapi tentu saja aku tidak bisa mengingat lagi karena dia melompat-lompat ke kanan kiri, kadang-kadang membalik lagi."

"Hemmm, tentu merupakan jalan rahasia yang sukar diketahui orang luar, kata Pat-jiu Mo-kai sambil meraba-raba degunya yang berjenggot panjang.

"Dan menurut Kiam-mo Cai-li, katanya meleset sedikit saja merupakan bahaya maut karena di sepanjang jalan penuh dengan jebakan alam. Kadang-kadang dia membawa kami meloncat ke bagian yang ada airnya, sampai saya merasa ngeri, akan tetapi ternyata bagian itu airnya hanya semata kaki, sedangkan tanah yang kelihatan kering di dekatnya, menarut keterangannya, bahkan merupakan tempat berbahaya sekali. Ketika pulang ke Bu-tong-san, Subo sendiri mengatakan bahwa dia tidak akan berani lancang menempuh jalan ini sendirian saja karena dia pun tidak dapat mengingat kembali jalan berliku-liku itu."

"Bagaimana kalau kita menggunakan tali yang panjang? Biar kau tidak hafal jalan itu, setidaknya kau pernah melaluinya dan dapat kau mencarinya, Moi-moi. Kita berempat mengikuti dari belakang, menggunakan tali yang ditalikan di pinggangmu sehingga andaikata kau salah jalan dan masuk perangkap, kita dapat menolongmu dengan menarik tali itu kata Liem Toan Ki kepada kekasihnya."

"Begitupun boleh, akan kucoba mengingat-ingat, akan tetapi harus kau sendiri yang memegang ujung tali, Koko, karena aku ngeri!"

"Ah, aku tidak setuju! Usul itu tidak tepat, Liem Sicu!" Tiba-tiba Tan Goan Kok berkata dengan suaranya yang parau dan nyaring.

"Akan tetapi aku tidak takut, Tan-Lo-enghiong!" Swi Nio membantah. "Pula, kalau Liem-koko yang memegang ujung talinya, aku tidak takut apa-apa lagi. Andaikata aku terjeblos, tentu akan dapat cepat ditariknya naik lagi."

"Bukan tidak setuju karena takut, melainkan karena kalau hal itu diketahui mereka, tentu akan menjadi bahan ejekan. Perlu apa kita harus mencari-cari jalan rahasia yang disembunyikan orang? Kita harus mencari jalan masuk yang lebih gagah, tidak mencuri-curi seperti segerombolan maling."

Bu Swi Nio mengerti dan membenarkan pendapat ini. Mereka berlima lalu duduk di tepi rawa sambil mengerutkan alis, mencari akal bagaimana mereka akan dapat mengunjungi pulau di tengah rawa itu sebagai tamu-tamu yang datang secara gagah. Karena kalau usul Liam Toan Ki dan Swi Nio tadi dilanjutkan, dan sampai terjadi Swi Nio terjebak ke dalam perangkap alam, tentu hal ini akan membuat mereka memandang rendah saja.

Akan tetapi, betapapun banyak pengalaman mereka dan betapapun tinggi ilmu kepandaian mereka, belum pernah mereka menghadapi kesukaran seperti sekarang ini. Akhirnya Siok Tojin yang tejak tadi tidak ikut bicara, mengeluarkan suara mengomel, kemudian berkata, "Dapat! Aku teringat akan orang-orang Mongol yang menggunakan akal mencari ikan di rawa-rawa seperti ini!"

Empat orang kawannya memandang ke arah tosu ini dengan wajah gembira dan penuh harapan. "Lekas katakan, To-tiang, bagaimanakah akal itu?" Tan Goan Kok bertanya.

"Mereka menggunakan bambu-bambu sebagai perahu."

"Ahh, mana mungkin? Menggunakan perahu menyeberangi rawa ini? Tentu akan mogok di tengah jalan kalau bertemu dengan air yang tertutup tanah dan rumput," bantah Pat-Jiu Mo-kai sambil memandang ke rawa dengan alis berkerut.

"Kita jangan meniru mereka yang membuat rakit dari bambu. Kita masing-masing menggunakan sebatang bambu saja, ujungnya dibikin runcing," kata Siok Tojin singkat, akan tetapi teman-temannya sudah dapat menangkap maksudnya.

"Bagus sekali! Tentu kita berhasil! Dengan bambu runcing, kita dapat meluncur melalui apa saja!" Tan Goan Kok berteriak girang.

"Hemm, kusangka tidak semudah itu. kita harus hati-hati, benar-benar mengerahkan ginkang dan sinkang, kalau sampai tergelincir tentu kita celaka dan ikan makin menjadi bahan tertawaan lagi. Betapapun juga, akal itu baik sekali. Mari kita mencari bambu dan membuat dayung," kata Pat-jiu Mo-kai yang bersama Siok Tojin dianggap orang tertua dan tertinggi ilmunya. (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0572 seconds (0.1#10.140)