Kho Ping Hoo, Bukek Siansu Jilid 17 Bagian 6
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu
Akhirnya, selamatlah rangkaian orang ini tergantung di sepanjang dinding karang dan kini paling berat bagiannya adalah Song Kiat karena dia merupakan orang pertama paling atas yang menggunakan kekuatan kedua tangannya, bergantung pada akar pohon dan menahan berat tujuh belas orang sutenya itu yang bergantung pada kakinya! Pantas saja twa-suheng ini menjadi orang pertama karena memang tugasnya paling berat, dan ji-suheng (kakak seperguruan ke dua belas) dari delapan orang pendekar itulah yang menjadi orang terakhir, yaitu Si Tinggi Besar tadi.
Ouw Sian Kok mengangguk kagum ketika bersama Liu Bwee dia melihat betapa orang yang bergantung paling bawah kini mulai merayap naik ke atas, disusul oleh orang ke dua, ketiga dan seterusnya sehingga tak lama kemudian, kedelapan belas orang itu telah dapat meloncat ke tepi dengan selamat!
"Bagus! Cuwi memang pantas menjadi Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong!" Ouw Sian Kok memuji.
Taihiap terlalu memuji. Kami telah melihat daerah ini dan penyeberangan secara membuat jembatan tadi telah kami latih selama berbulan-bulan baru hari ini kami berani mencoba menyeberagi tempat ini. Sekarang selanjutnya kami hanya mengharapkan bantuan Jiwi, karena An Lu Shan memiliki banyak sekali kaki tangan yang amat lihai. Menurut penyelidikan kami, pada saat ini, Telaga Utara kosong sehingga kita boleh menyelidiki dengan aman karena kalau jenderal pemberontak itu tidak berada di sini, penjagaan tidaklah demikian kuat."
Ouw Sian Kok menoleh ke kanan kiri, lalu menghela napas dan berkata, "Kuharap saja Cuwi (Saudara Sekalian) tidak sampai membuat salah perhitungan. Menurut penglihatanku, tempat rahasia seorang berpangkat tinggi tentulah selalu dijaga ketat dan tempat ini kelihatan begini sunyi senyap, seperti sebuah pulau kosong saja. Hal ini bahkan menimbulkan kecurigaan...."
"Apapun yang akan terjadi, setelah kita berada di sini, akan kita hadapi bersama. Ouw-toako, tidak perlu kita khawatir." Liu Bwee menghibur.
Mereka lalu bergerak maju memasuki daerah itu dan tak lama kemudian tibalah mereka di tepi telaga dan sudah tampak bangunan besar yang berada di tengah telaga. Selama itu, tidak nampak seorang pun penjaga sehingga Ouw Sian Kok merasa makin khawatir dan curiga.
"Hemm, hanya ada dua kemungkinan. Mereka telah pindah dan meninggalkan tempat ini, atau kita masuk perangkap!"
Baru saja Ouw Sian Kok mengeluarkan kata-kata ini, terdengar suara tertawa disusul suara gerakan banyak orang dan muncullah puluhan orang dari jembatan telaga maupun dari belakang pohon dan semak-semak.
"Celaka, kita terjebak...!" Song Kiat berseru. Taihiap Lihiap, kita kembali saja!"
Tergesa-gesa delapan belas orang pendekar itu memutar tubuh dan lari kembali ke jurang di mana mereka menyeberang tadi, diikuti oleh Ouw Sian Kok dan Liu Bwee. Akan tetapi, begitu tiba di tepi jurang, Song Kiat menjadi pucat dan memandang ke depan dengan mata terbelalak, demikian pula para sutenya.
Ternyata di tempat penyeberangan itu, di sebelah sana tampak berbaris pasukan yang siap dengan busur dan anak panah mereka. Dengan adanya pasukan panah itu tidak mungkin lagi bagi mereka untuk melarikan diri dengan membentuk jembatan manusia seperti tadi. Tentu mereka akan dihujani anak panah dan akan tewas semua.
Melihat betapa delapan belas orang pendekar itu kebingungan, Ouw Sian Kok berkata dengan suara agak kecewa, "Mengapa Cuwi menjadi bingung setelah berhadapan dengan musuh?"
"Taihiap tidak tahu, memang benar dugaan Taihiap tadi bahwa kita terperesok ke dalam perangkap. Penyelidikan kita yang sudah-sudah pun agaknya sudah diketahui oleh orang-orang An Lu Shan, ternyata secara diam-diam An Lu Shan berada di sini, lengkap dengan semua pembantunya dan hal ini amatlah berbahaya."
"Berbahaya atau tidak, kita sudah menghadapinya dan perlu apa bingung? Kebingungan hanya akan membuat kita tidak tenang dan lemah. Hadapilah apa saja yang kita temui, berbahaya maupun tidak. Apa gunanya hidup sebagai pendekar kalau matinya seperti pengecut?"
Mendengar ucapan Ouw Sian Kek ini, bangkitlah semangat kepahlawanan delapan belas orang murid Bu-tong-pai itu. "Ucapan Taihiap tepat sekali! Maafkan kalau tadi kami bingung karena hal ini sama sekali tidak kami duga-duga dan apa lagi kami telah mengajak jiwi ke sini, berarti kami menyeret Jiwi ke dalam bahaya pula." (Bersambung)
Akhirnya, selamatlah rangkaian orang ini tergantung di sepanjang dinding karang dan kini paling berat bagiannya adalah Song Kiat karena dia merupakan orang pertama paling atas yang menggunakan kekuatan kedua tangannya, bergantung pada akar pohon dan menahan berat tujuh belas orang sutenya itu yang bergantung pada kakinya! Pantas saja twa-suheng ini menjadi orang pertama karena memang tugasnya paling berat, dan ji-suheng (kakak seperguruan ke dua belas) dari delapan orang pendekar itulah yang menjadi orang terakhir, yaitu Si Tinggi Besar tadi.
Ouw Sian Kok mengangguk kagum ketika bersama Liu Bwee dia melihat betapa orang yang bergantung paling bawah kini mulai merayap naik ke atas, disusul oleh orang ke dua, ketiga dan seterusnya sehingga tak lama kemudian, kedelapan belas orang itu telah dapat meloncat ke tepi dengan selamat!
"Bagus! Cuwi memang pantas menjadi Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong!" Ouw Sian Kok memuji.
Taihiap terlalu memuji. Kami telah melihat daerah ini dan penyeberangan secara membuat jembatan tadi telah kami latih selama berbulan-bulan baru hari ini kami berani mencoba menyeberagi tempat ini. Sekarang selanjutnya kami hanya mengharapkan bantuan Jiwi, karena An Lu Shan memiliki banyak sekali kaki tangan yang amat lihai. Menurut penyelidikan kami, pada saat ini, Telaga Utara kosong sehingga kita boleh menyelidiki dengan aman karena kalau jenderal pemberontak itu tidak berada di sini, penjagaan tidaklah demikian kuat."
Ouw Sian Kok menoleh ke kanan kiri, lalu menghela napas dan berkata, "Kuharap saja Cuwi (Saudara Sekalian) tidak sampai membuat salah perhitungan. Menurut penglihatanku, tempat rahasia seorang berpangkat tinggi tentulah selalu dijaga ketat dan tempat ini kelihatan begini sunyi senyap, seperti sebuah pulau kosong saja. Hal ini bahkan menimbulkan kecurigaan...."
"Apapun yang akan terjadi, setelah kita berada di sini, akan kita hadapi bersama. Ouw-toako, tidak perlu kita khawatir." Liu Bwee menghibur.
Mereka lalu bergerak maju memasuki daerah itu dan tak lama kemudian tibalah mereka di tepi telaga dan sudah tampak bangunan besar yang berada di tengah telaga. Selama itu, tidak nampak seorang pun penjaga sehingga Ouw Sian Kok merasa makin khawatir dan curiga.
"Hemm, hanya ada dua kemungkinan. Mereka telah pindah dan meninggalkan tempat ini, atau kita masuk perangkap!"
Baru saja Ouw Sian Kok mengeluarkan kata-kata ini, terdengar suara tertawa disusul suara gerakan banyak orang dan muncullah puluhan orang dari jembatan telaga maupun dari belakang pohon dan semak-semak.
"Celaka, kita terjebak...!" Song Kiat berseru. Taihiap Lihiap, kita kembali saja!"
Tergesa-gesa delapan belas orang pendekar itu memutar tubuh dan lari kembali ke jurang di mana mereka menyeberang tadi, diikuti oleh Ouw Sian Kok dan Liu Bwee. Akan tetapi, begitu tiba di tepi jurang, Song Kiat menjadi pucat dan memandang ke depan dengan mata terbelalak, demikian pula para sutenya.
Ternyata di tempat penyeberangan itu, di sebelah sana tampak berbaris pasukan yang siap dengan busur dan anak panah mereka. Dengan adanya pasukan panah itu tidak mungkin lagi bagi mereka untuk melarikan diri dengan membentuk jembatan manusia seperti tadi. Tentu mereka akan dihujani anak panah dan akan tewas semua.
Melihat betapa delapan belas orang pendekar itu kebingungan, Ouw Sian Kok berkata dengan suara agak kecewa, "Mengapa Cuwi menjadi bingung setelah berhadapan dengan musuh?"
"Taihiap tidak tahu, memang benar dugaan Taihiap tadi bahwa kita terperesok ke dalam perangkap. Penyelidikan kita yang sudah-sudah pun agaknya sudah diketahui oleh orang-orang An Lu Shan, ternyata secara diam-diam An Lu Shan berada di sini, lengkap dengan semua pembantunya dan hal ini amatlah berbahaya."
"Berbahaya atau tidak, kita sudah menghadapinya dan perlu apa bingung? Kebingungan hanya akan membuat kita tidak tenang dan lemah. Hadapilah apa saja yang kita temui, berbahaya maupun tidak. Apa gunanya hidup sebagai pendekar kalau matinya seperti pengecut?"
Mendengar ucapan Ouw Sian Kek ini, bangkitlah semangat kepahlawanan delapan belas orang murid Bu-tong-pai itu. "Ucapan Taihiap tepat sekali! Maafkan kalau tadi kami bingung karena hal ini sama sekali tidak kami duga-duga dan apa lagi kami telah mengajak jiwi ke sini, berarti kami menyeret Jiwi ke dalam bahaya pula." (Bersambung)
(dwi)